Selamat Datang! Di Cafebahasa dan Opini-Bambang Setiawan-Blog Informasi dan Kumpulan Opini-Jangan lupa isikan Komentar Anda demi perbaikan ke depan-Kirim artikel anda untuk diposting-bbg_cla@yahoo.com

Senin, 30 Januari 2012

Ulasan Sastra Ironi Tragis

Ironi Tragis di Batu Pelangi
Oleh: (Eka Sutrisni)

Di dalam himpunan Batu Pelangi (Candi Muaro Jambi Dalam Sajak) tersebut terdapat berbagai jenis majas yang digunakan oleh para penyair. Salah satu majas yang digunakan dalam antologi tersebut adalah Ironi tragis. Ironi tragis sebenarnya termasuk ironi dramatik dalam drama yang dalam puisi atau prosa biasa juga disebut ironi situasi. Ironi dramatik baru dapat diketahui efek ironinya dalam keseluruhan makna sajak
itu. Ironi dramatik berbeda sekali dengan ironi verbal, ironi dramatik tidak diungkapkan dalam kata-kata tetapi dalam perbuatan atau lakuan tokoh (Hartoko dan B. Rachmanto, 1986:69). Ironi dramatik dapat juga dipandang sebagai kesan yang diperoleh pembaca menyangkut kejadian yang dialami tokoh rekaan yang memperlihatkan adanya kesenjangan (bahkan pembalikan) antara yang diharapkan dan kenyataan yang dialami.
Penggunaan majas ironi tragis berjumlah 27 sajak dari 13 orang penyair, serta dari 23 orang penyair. Adapun sajak yang ada di dalam antologi tersebut yakni “Candi Tinggi karya Aart S. Jauhari; Mo-Lo-Yeu Chan-Pi karya Aart S. Jauhari; Naga karya Aart S. Jauhari; Reinkarnasi karya Aart S. Jauhari; Telur karya Aart S. Jauhari; Candi Mati Suri karya Ahmad Yani; Persembunyian Candi karya Ahmad Yani; Bait Pengakuan Dwarapala karya Asro Al Murthawy; Mungkin Akan Sampai Padamu karya Asro Al Murthawy; Rendezvous: Candi Muaro Jambi karya Asro Al Murthawy; Ancaman Situs Muaro Jambi karya Bambang Setiawan; Menapo di Situs Muaro Jambi karya Bambang Setiawan; Inilah Sejarah:Candi Muaro Jambi karya Chory Marbawi; Menggenggam Candi Muaro Jambi karya Chory Marbawi; Kembaran Pradya Paramita karya E.M Yogiswara; Tembang Sunyi Situs Kemingking karya E.M Yogiswara; Mak! Candi Kito Senyap karya Iriani R. Tandy; Melalui Angin Aku Berbisik karya Kms Jaka Novriandi; Melawan Waktu karya Kms Jaka Novriandi; Telanjangi Waktu karya Kms Jaka Novriandi; Swarma Dwipa karya Prof. Dr. Mukhtar, M.pd.; Debar Dupa karya Ramayani; Tangis I-Tsing dan Atisa karya Randa Gusmora; Kembar Batu karya Rini Febriani Hauri; Prajnaparamita karya Rini Febriani Hauri; Kalender di Musim Panen karya Rustam Affandy; dan Sajak Ranting Patah karya Rustam Affandy”.
Saya selaku penulis tidak membahas 27 sajak yang tertera diatas. Melainkan, saya hanya memilih dua sajak yang mewakili dari ke-27 sajak tersebut dalam penggunaan majas Ironi tragis seutuhnya.

Tembang Sunyi Situs Kemingking

I
Mengingat Kemingking
Mengingat selaput peninggalan sejarah purbakala
Mendidih membumi
Keberanian terpanggang mengudara
Jejak tapak penjualan ke keturunan China
Masih merintih
Penyelesaian gemilang terbuang
Gemuruh pabrik tetap membaja
Mengikis habis darah pendukungnya

II
Kemingking meradang
Saksikan kekerasan demi kekerasan
Menjempit menghimpit Candi Teluk

……….

III
……….
IV
……….
               
Karya. E.M Yogiswara
Teater AiR, 1999-2000

Sajak “Tembang Sunyi Situs Kemingking” mengandung ironi tragis. Dimana kehadiran majas ironi tersebut dapat kita rasakan kegetiran, kepahitan, serta kekecewaan yang dirasakan oleh penyair. Penyair hanya bisa mengucap dalam hati karena dia hanya bisa melihat ketidaksempurnaan sejarah Melayu Kuno Jambi. Dalam setiap larik ada seseorang yang hendak disindir dan diingatkan penyair agar ingat dengan apa yang telah ia perbuat. Seperti pada bait empat dan lima yang terdapat pada larik berikut: III//Lewat kelembutan/Gema megah abad sepuluh tiga belas/Hanyut terbuai kemelut bisu/Kejayaan Melayu Kuno/Jadi pembakaran sampah perusahaan/Ancaman pengrusakan persinggahan I-Tsing/Hanya kembang penemuan arkeolog/Tembang liris situs kemingking/Sunyi bernyanyi//IV//Mengingat kemingking mengingat kilau Candi Teluk/Berangsur kelam terselimut merahnya air Sungai Batanghari/Dan didesak cahaya pabrik yang gemilang bersinar/
Dimana dalam penggalan sajak dari “Tembang Sunyi Situs Kemingking” tersebut terdapat pertanyaan, yang mana penyair mencari jawaban tentang sapa yang telah dipertanyakan dan apa yang telah terjadi pada bagian sejarah Melayu Kuno Jambi ini. Seperti yang terdapat dalam penggalan sajak tersebut; Ya Allah Ya Robbi Ya Allah Ya Robbi Ya Allah Robbi/Ya Allah Ya Robbi Ya Allah Ya Robbi Ya Allah Robbi/Ya Allah Ya Robbi Ya Allah Ya Robbi Ya Allah Robbi/Dosa apa yang mengental/Hingga kemingking lelah bersuara/Ya Allah Ya Robbi Ya Allah Ya Robbi Ya Allah Robbi/Ya Allah Ya Robbi Ya Allah Ya Robbi Ya Allah Robbi/Ya Allah Ya Robbi Ya Allah Ya Robbi Ya Allah Robbi/Kapan adu kekuatan terdiam/Hingga tembang liris situs Kemingking/Sempurna jadi bagian sejarah Melayu Kuno/.
Judul sajak diatas adalah “Tembang Sunyi Situs Kemingking” sajak tersebut ditulis oleh E.M Yogiswara atau akrab dipanggil Wak Eddy yang terlahir di Jambi tanggal 28 April. Puisi yang berjudul “Tembang Sunyi Situs Kemingking” (diterbitkan oleh Jambi Heritage dan The Somt, 2011) yang terdapat dalam Antologi Batu Pelangi.
Bentuk sajak “Tembang Sunyi Situs Kemingking” termasuk jenis sajak bebas. Estetika sajak bebas dalam sajak “Tembang Sunyi Situs Kemingking” ditunjukkan oleh susunan tipografi, pilihan kata, sistem pelarikan, dan tanpa ada rima akhir yang tersusun secara tidak rapi. Secara formal sajak “Tembang Sunyi Situs Kemingking” terdiri atas delapan bait, yang jumlah keseluruhan larik tersebut terdapat 41 larik. Dari 41 larik tersebut ada 1 larik yang hanya terdiri atas 1 kata, 6 larik terdiri atas 2 kata, 3 larik terdiri atas 3 kata, 15 larik terdiri atas 4 kata, 3 larik terdiri atas 5 kata, 4 larik terdiri atas 6 kata, 3 larik terdiri atas 7 kata, dan 6 larik terdiri atas 11 kata.
“Tembang Sunyi Situs Kemingking” sebagai judul sajak yang mengingatkan kita terhadap ketidakperdulian Sejarah Melayu Kuno atau Muaro Jambi. Apalagi masih banyak berbagai Candi yang masih terkubur, terhimpit, dan tertanam oleh bangunan-bangunan pabrik yang menghancurkan indahnya Candi Muaro Jambi serta sejarah Melayu Kuno.
Disetiap bait sajak “Tembang Sunyi Situs Kemingking” tersebut terasa hampir keseluruhan kata-kata memiliki ketragisan serta kekecewaan penyair ketika melihat daerah Candi Muaro Jambi terhimpit oleh bangunan pabrik. Keindahan panorama Candi Muaro Jambi tidak seutuhnya memiliki keindahan.
Pemanfaatan daya guna bunyi dalam sajak “Tembang Sunyi Situs Kemingking” karya E.M Yogiswara tampak pada pemakaian bunyi vokal [a] yang sangat dominan. Selain itu, juga memanfaatkan bunyi vokal yang lain seperti [e], [i], [o], dan [u]. Bunyi-bunyi vokal tersebut dimanfaatkan sebagai kombinasi dengan bunyi konsonan bersuara (voiced): [b, d, j], bunyi konsonan tak bersuara (unvoiced); [k, p, t, s] dan bunyi konsonan sengau; [m, n, ng] dan [ny].
Pesan yang terdapat dalam sajak “Tembang Sunyi Situs Kemingking” adalah  pada larik kedelapan. Penyair menyatakan bahwa ” Kapan adu kekuatan terdiam/Hingga tembang liris situs Kemingking/Sempurna jadi bagian sejarah Melayu Kuno/”. Pernyataan penyair ini sebagai simbol yang berupa pertanyaan kepada manusia-manusia yang tidak memperdulikan budaya dan sejarah Melayu Kuno Jambi bahkan mereka tidak dapat mengembangkan budaya dan sejarah Melayu Kuno Jambi. Selain itu, para petinggi tidak berani untuk menghidupkan kembali Candi yang telah  terhimpit oleh pabrik-pabrik. Di dalam larik kedelapan tersebut penyair menyampaikan pesan agar manusia atau masyarakat mengetahui bagaimana budaya dan Sejarah Melayu Kuno Jambi meskipun ada sebagian Candi yang terhimpit dan terkubur oleh bangunan pabrik. Mereka tidak sadar bahwa budaya dan Sejarah Melayu Kuno Jambi berasal dari keindahan dari Candi-Candi.
Sajak “Tembang Sunyi Situs Kemingking” karya E.M Yogiswara ini tidak hanya berfungsi sebagai ekspresif, tetapi juga berfungsi sebagai referensial. Untuk memahami secara total makna sajak “Tembang Sunyi Situs Kemingking” tersebut harus memerlukan acuan kamus Bahasa Indonesia dan ensiklopedia. Dari berbagai acuan tersebut dapat dipahami bahwa makna “Tembang Sunyi Situs Kemingking” begitu mendalam sebagai sarana untuk mengingatkan manusia-manusia yang tidak perduli dan bertanggungjawab terhadap keindahan budaya dan sejarah Melayu Kuno Jambi khususnya Candi Muaro Jambi. Sajak “Tembang Sunyi Situs Kemingking” ini berbobot dan terjalin secara baik dan bermakna.      


Ancaman Situs Muaro Jambi

reruntuhan Candi Kembar Batu
adalah air mata yang mengores kompleks percandian Muaro
Jambi
reruntuhan Candi Kembar Batu
adalah kepasrahan pada tanggul alam kuno Sungai Batanghari
reruntuhan Candi Kembar Batu
menitikkan saksi atas hancurnya dan rapuhnya batu kuno
……….
……….

……….
……….
……….
Karya: Bambang Setiawan

Judul sajak diatas adalah “Ancaman Situs Muaro Jambi” sajak tersebut ditulis oleh Bambang Setiawan. Puisi yang berjudul “Ancaman Situs Muaro Jambi” (diterbitkan oleh Jambi Heritage dan The Somt, 2011) yang terdapat dalam Antologi Batu Pelangi.
Sajak yang berjudul “Ancaman Situs Muaro Jambi” mengisahkan tentang suatu ketragisan dan kesedihan terhadap Candi yang telah runtuh dan hancur. Karena keruntuhan dan rapuhnya batu-batu kuno membuat penyair merasa sedih melihatnya. Dengan adanya penyair merasakan kehancuran dari rapuhnya batu candi membuat dia tidak melihat lagi sejarah Candi yang sesungguhnya. Yang tergambar dalam mata batin kita adalah situasi ironis. Seperti pada bait kedua, yang terdapat pada larik berikut: inikah ancaman besar penghancuran peninggalan Melayu Kuno, Situs Muaro Jambi!/sementara logam batu bara asyik mengurai bersama air hujan/ dan kadar asam yang tinggi menggerogoti Situs Muaro Jambi/hancur/rapuh/fungsi serta nilai sejarahnya.
Terdapat kontras antara “air mata” (benda cair yang berwarna bening yang jatuh dari kelopak mata), apabila Candi ini manusia dia merasakan kesedihan yang sangat mendalam. Karena kekokohannya serta keindahan bentuknya, hancur dan rapuh termakan air hujan yang memiliki kadar asam tinggi. Sehingga kekokohan dan keindahan bentuknya menghancurkan sejarah dari Candi Kembar Batu tersebut. Bahkan, masyarakat pun tidak mau melihatnya istilah kata “hanya melihat sebelah mata”.
Secara sederhana dapat disimpulkan pernyataan ironis: meskipun Candi Kembar Batu tersebut telah rapuh dan hancur, penyair menginginkan agar sejarah Candi tersebut tidak musnah dan terlupakan. Untuk memahami secara total makna sajak “Ancaman Situs Muaro Jambi” tersebut memerlukan acuan kamus, dan ensiklopedia. Dari berbagai acuan tersebut dapat dipahami bahwa makna dari sajak “Ancaman Situs Muaro Jambi” tersebut sangat dalam sebagai acuan agar masyarakat Jambi tidak lupa akan Sejarah Candi Kembar Batu tersebut. Jadi, sajak “Ancaman Situs Muaro Jambi” tersebut bagus dan mengandung makna untuk menyindir masyarakat yang telah melupakan Candi Kembar Batu karena rapuh dan hancurnya Candi tersebut.

·         Tulisan ini terbit di harian pagi Jambi Ekspres, Minggu 29 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar