Kreativitas Cipta Sastra “Galur Tulang”
Oleh: Bambang Setiawan, S.Pd
“Tapak
perjalanan kata yang saling berjalinan satu sama lain”, tidak bisa dianggap
remeh. Inilah embrio kecil yang sangat misterius menghantarkan proses kreatif
dalam kumpulan “Galur Tulang” yang ditulis oleh EM Yogiswara. Dorongan
merangkai kata dan mengawinkan dalam ikatan sajak memerlukan imaji,
penginderaan, dan inspirasi konkret. “Karena sajak dan tulang diyakini memiliki
kekuatan tersendiri, maka ia pun kukawinkan dalam ikatan sajak (EM Yogiswara,
2012:i)”, merupakan sensasional dan sebuah kekuatan untuk membangun kreativitas
cipta sastra.
Bobot
perjalanan kata yang dihadirkan dalam himpunan sajak EM Yogiswara berjudul
Galur Tulang dapat dimanfaatkan secara konsumsi dan intelektual, walaupun cara
mengawinkan kata “sajak dan tulang” dalam tulisan
sajaknya begitu panjang. Tradisi penulisan yang disuguhkan dalam himpunan sajak Galur Tulang sangat kompleks dengan imaji, mengalir sampai pada gaya akhir. Sebagai pekerja seni EM Yogiswara mampu menyemarakan permainan kata dalam ke 14 (empat belas sajaknya) yang mirip percakapan, walaupun terpoles secara rumit.
sajaknya begitu panjang. Tradisi penulisan yang disuguhkan dalam himpunan sajak Galur Tulang sangat kompleks dengan imaji, mengalir sampai pada gaya akhir. Sebagai pekerja seni EM Yogiswara mampu menyemarakan permainan kata dalam ke 14 (empat belas sajaknya) yang mirip percakapan, walaupun terpoles secara rumit.
Membaca
teks sastra sajak dalam Galur Tulang, penyair dalam komponen bahasanya yang
panjang seperti penulisan cerpen atau cerita mini, sangat menginspirasikan proses kreatif yang akurat. Suatu teks sastra (sajak) dalam
Galur Tulang, tidak berhenti selesai dicipta oleh pengarangnya, melainkan masih
mengalami perjalanan panjang, dapat dijadikan teks baru, bahkan sajak-sajak
dalam Galur Tulang dapat dijadikan dasar lakon seni pertunjukan atau mengilhami
cipta seni lain. Hal ini secara konkret dapat dibaca dalam alur sajak yang
ditulis oleh EM Yogiswara penuh dengan ramuan bahasa yang mencair dari bait
yang satu ke bait yang lain.
Konsep
dan cara pandang yang hadirkan EM Yogiswara dalam sajaknya sangat berbeda
dengan penyair yang lain, seperti
Chairil Anwar (dalam kumpulan Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Terputus) konsep dan
cara pandang menghadirkan proses kreatifnya dengan bahasa yang sederhana dan
penulisannya dengan gaya bahasa yang cukup pendek. Atau pun Amir Hamzah (dalam
kumpulan Nyanyi Sunyi) menghadirkan puisi atau sajaknya dengan tulisan yang
pendek. Terbentuknya karya sastra baik puisi, sajak adalah melalui proses kreatif
yang panjang. Namun, panjang pendeknya proses ini amat relatif, dan tergantung
kesiapan psikologis penyair dalam menuangkan ide dan pemikirannya. Dan belum
tentu sajak sajak-sajak yang dihadirkan EM Yogiswara itu proses kreatifnya
lebih singkat dibanding seorang penulis novel yang menuliskan ceritanya sampai
beratus-ratus halaman.
Upaya
EM Yogiswara memberi warna dalam sajaknya sangat kreatif, walaupun secara jujur
penyair sendiri belum tentu secara nyata mampu memahami secara penuh proses
kreatif yang dialaminya dalam menuliskan sajaknya. Penyair merambah dengan
keluasan ide yang dimilikinya dengan konsep yang sedikit memaksakan kondisi
rasional yang dialaminya dengan bantuan diksi, gaya bahasa, metafora, pilihan
kata sebagai bentuk ekspresi-ekspresi paradoksnya. Sajak-sajak Galur Tulang
sangat kaya dengan narasi dan peristiwa kemanusiaan sebagai bentuk kontributif
dalam sikap kritis yang dimiliki oleh EM Yogiswara, walaupun sajak-sajak yang
dihadirkannya ada atas inspirasi dan pengalaman-pengalaman pribadinya.
//Tangis
mengejar air mata, seperti membangun kedewasaan di titik retak. Sungai rindu
menari. Mengakhiri kemelut detik. Detik menusuk tulang, membagi sumsum hari, di
tiap gemertak ngilunya. Nisan menanti// (Api Tulang, 2012:1). Kutipan sajak
tersebut diungkapkan penyair secara pedas. Namun kosakata bahasanya dirangkai
secara estetis. Seusai membaca puisi berjudul Api Tulang ada hal yang
menggelitik dan cukup mengasyikkan. Penyair dalam sajaknya menghadirkan pesona
melalui lirik-lirik esainya sangat menyentuh psikis, kejujuran, imaji. Lalu
bagaimana EM Yogiswara menyapa dunia persajakan dalam himpunan Galur Tulang?
Adalah sentuhan jiwa, getaran jiwa yang hendak dikatakan kepada pembaca melalui
struktur narasi yang kuat dengan kreativitas.
Mencipta
dan menuliskan sajak-sajak sebagai teks yang kreatif merupakan proses penalaran
sebagai bentuk titik temu emosi, rahasia-rahasia, intuisi bahkan sebuah dialog
yang imajiner. Sajak yang dihadirkan oleh EM Yogiswara didasari oleh emosi,
baik itu emosi kegembiraan, kesedihan, cemburu, malu, menakutkan dan
seterusnya. Endraswara (2008:36) menyebutkan bahwa emosi adalah unsur yang
mendasari puisi atau emosi merupakan akibat dari situasi yang aktual. Namun
demikian penyair dalam himpunan sajak Galur Tulang telah berhasil membuat
keseimbangan antara sajak dan situasi yang dibangunnya secara sepadan. Semua
sajak yang dihadirkannya diolah dengan bahasarasa yang enjoy dan nikmat sekali
untuk dibaca, walaupun sajak yang digarapnya dengan narasi yang panjang.
//Dari
tulang kembali ke tanah. Semua yang
melekat pada bara tulang mencair, bersatu menjadi tanah. Hanya bara tulang
tersisa. Menemani aroma tanah, bersetubuh dengan dingin tanah. “Semua jasa
milik-Nya. Kita meminjam, kelak mengembalikannya ke tanah.”// (Bara Tulang,
2012:3). Penyair dalam sajak ini erat dengan hubungannya dengan perasaan.
Artinya penyair mengajak kepada pembaca bahwa semua manusia akan kembali
kepada-Nya, kelak mengembalikannya ke tanah. Dorongan perasaan yang kuat
disampaikan EM Yogiswara dalam sajak Bara Tulang merupakan reaksi tingka laku
yang dekat dengan perasaan ketuhanan. Dalam sajak berjudul Bara Tulang ini
penyair menghadirkan kepuitisan, dan mengutamakan aspek estetis. Pendayagunaan
bahasa dan pemilihan kosa kata yang disuguhkannya sangat membangkitkan efek
emosinalitas. Secara rasional sajak-sajak dalam himpunan Galur Tulang, penyair
melakukan berbagai cara untuk menemukan tingkat keestetisan dan emosionalitas
dalam bahasa kiasan.
Himpunan
sajak Galur Tulang semakin memikat ketika dibaca, karena unsur bentuk dan isi
ditempatkan secara terkait dalam proses penulisan sajak oleh penyairnya. Unsur
isi dan bentuk ini menjadi sumber gagasan dan sebagai tema dalam setiap
sajaknya. EM Yogiswara dalam sajaknya mengusung tema cinta, ketakutan, kegembiraan,
penderitaan, sebagai dasar untuk menyampaikan intuisinya. Dalam himpunan
sajaknya, EM Yogiswara sangat halus dan menyentuh untuk mengungkapkan
perasaannya. Walaupun ada beberapa sajaknya yang didasari dengan emosi yang
meluap, bahkan ketidakpuasan dan amarah yang tinggi juga secara spontan diungkapkan
penyair dalam sajak-sajak Galur Tulang.
Wellek
dan Warren (1976; Siswanto, 2008:13) menyebutkan bahwa penyair dalam berkarya
dianggap mengalami gangguan emosi dan karya sastranya dianggap merupakan kompensasinya,
dan kesengsaraan, kegelisahan sebagai tema karya-karyanya. Begitu juga dengan
proses cipta kreatifnya penyair mendapatkan kenikmatan (kehendak positif), dan
dorongan untuk menemukan suatu keindahan, keseriusan dalam mempermainkan bunyi
dan kata. Kepuasaan rasa seni dan dorongan untuk mencipta sesuatu yang kreatif
terasa dalam ke 14 (empat belas sajak EM Yogiswara) yang terhimpun dalam Galur
Tulang yang diterbitkan oleh Kerjasama Pusat Kajian Pengembangan Sejarah dan
Budaya Jambi dengan The Society Muaro Jambi Temple.
Sajak
berjudul Episode Tulang (2012:7).//Bulan putih. Tulang bersetubuh. Pijar
pengantin tenggelam di rongga bersayap. Menghantarkan mawar merah di pintu
angan. Kuntum menguak ruang. Bunga di atas meja menyambangi tamu penuh
perlindungan// (bait pertama). //Bulan putih basah oleh tangis. Cahaya redup di
titik api. Api galau, mengambang alurnya di pucuk bunga. Terjerat sendi tulang
yang merangkai wangi// (bati ke empat, 2012:7). Pada kutipan bait sajak yang
dihadirkan oleh EM Yogiswara tersebut muncul dorongan mengaktualkan sebuah
keindahan, walaupun kadar keindahan setiap sajak yang dihadirkan berbeda-beda.
Sajak Epidose Tulang dimanfaatkan EM Yogiswara sebagai ungkapan keindahan.
Penyair dapat menemukan kepuasan ide meskipun tidak diwujudkan dalam
simbol-simbol yang sebenarnya.
Proses
kreativitas cipta sajak yang dilakukan oleh EM Yogiswara, juga terlihat dari
pemilihan bahasa. Artinya penyair mempunyai latar belakang kebahasaan yang unik
untuk menulis sajak. EM Yogiswara dalam menorehkan bahasanya berbeda dengan
kumpulan-kumpulan puisi sebelumnya; Kau Lahir (1992), Soco (Benteng Budaya
Yogyakarta, 2001), dan Perempuanku (1992). EM Yogiswara dipandang mempunyai
kreativitas berbahasa. Bahasa yang dimunculkan penyair dalam himpunan sajak Galur
Tulang adalah bahasa sastra. Mengapa? Pertama sajak-sajak yang dihadirkan oleh
penyair dalam Galur Tulang mengalami deotomatisasi, karena ide, perasaan,
pesan, dan wahana kebahasaan yang ada diolah oleh penyair sehingga
pengujarannya tidak dapat berlangsung begitu saja. Semua sajak (ke empat belas
sajak) yang terhimpun dalam Galur Tulang bersifat polisemantsi dan
multifungsional. Selain bahasa yang dihadirkan juga dilandasi dengan sistem
bahasa natural dan sistem kode dalam konvensi sastra. Begitu juga dengan isi
sajaknya terlihat secara jelas ada unsur-unsur pemadatan struktur kebahasaan,
pengayaan makna, dan variasi pola struktur. Selain itu latar belakang
kebahasaan EM Yogiswara juga mengandung konotasi makna yang bersifat
individual.
Berikut
contoh latar belakang kebahasaan yang dihadirkan EM Yogiswara dalam sajaknya
berjudul Galur Tulang (2012:hal 9). //Kita lahir dari pergumulan air tulang
birahi. Menjelma menjadi daging. Daging dari darah. Membesar, menyelimuti
tulang. Tulang berjanji menjaga jasad. Jasad dituntun keinginan hati. Hati?
Adakah tulang memiliki hati?”// (bait pertama).//Amuk air berkisah: api
menangkah tapak usia. Panasnya mengeruh. Tak ada tanda-tanda cahaya kan lewat.
Bara mengarng di kesenjaan, air bertemu tulang di kayu-kayu pembakaran, seperti
pembajak ladang yang tak menebar benih. Duka.// (bait kelima, 2012:9).
Dalam
berkomunikasi penyair dalam sajak-sajak Galur Tulang sangat memperhatikan
sistem bahasa. Aritnya komunikasi sastra, penyair sangat memperhatikan sistem
bahasa dan memperhatikan sosio-budaya. Karena bahasa dan budaya saling
berkaitan. Meskipun kreativitas dijunjung tinggi dalam penulisan sajaknya, EM
Yogiswara dalam menuangkan idenya tetap memperhatikan sosio-budaya masyarakat
(bahasa dan sastra) masyarakatnya. Selain latar belakang kebahasaan yang unik,
EM Yogiswara dalam menggarap beberapa sajaknya sangat erat dengan alam semesta.
Artinya sajak-sajak yang ditulis oleh penyair tercipta berkat ide yang didapat
dari alam semesta. Penyair dalam himpunan sajak Galur Tulang menyampaikan apa
yang berhasil diindra, ditanggapi, diingat dan difantasikan disimpan dan
disampaikan melalui bahasa dengan segala perangkatnya.
Berikut
kutipan sajak berjudul Kerikil di Rongga Rulang. //”Dingin malam terbunuh,
tanpa erang dan isak tangis pemburu waktu yang meringgis mengais sisa tidur.
“Masih bergunakah melawan arus hujan?” Dengan embun// (bait kedua, 2012:14).
//Beban awan menghantar mendung pada peradaban hujan. Tanpa tangga turun
menjelma menjadi pisau. Air. Melepas dahaga yang membatu. Musibah.// (bait
ketiga, 2012:14). Beberapa karya sajaka EM Yogiswara disusun berdasarkan alam
semesta. Sajak-sajak berjudul; Kerikil di Rongga Tulang (2012:14), Lengkung
Tulang (2012:17), Lorong Tulang (2012:21), dan Rongga Tulang (2012:27). Sajak-sajak
tersebut oleh penyair disusun dengan tiga cara yaitu manipulatif, artifisial,
dan interpretatif. Kenyataan yang diindrakan penyair dijadikan bahan sajaknya
dengan cara dimanipulasi, yaitu penyair meniru, menambah, mengabung-gabungkan
kenyataan yang ada untuk dijadikan sumber inspirasi dalam penulisan sajaknya.
Selain itu kenyataan yang ada dan dihadapi telah diinterprestasikan terlebih
dahulu berdasarkan cara pandang diri EM Yogiswara sebelum sajak itu ditulis
secara estetis.
//Dinding
tulang bisa rapuh. Lalu roboh, pesona melintasi angin dan waktu sia-sia
mengukir keangkuhannya. Keangkuhan membaur tanah. Memaksa diri menyetubuhi air.
Diam. Debu mengepung pejalan// (bait keempat, 2012:21). Dari kutipan sajak
tersebut, pembaca dapat mengetahui bahwa kenyataan yang akan dihadapi setiap
manusia kelaknya juga dijadikan inspirasi peristiwa. Penggambaran yang kritis
digambar pada “dinding tulang bisa rapuh. Lalu roboh”. Usai membaca himpunan
sajak Galur Tulang, kosakata dan pilihan kata yang dihadirkannya menghantarkan
pembaca semakin mudah mengenal, menimbang, menikmati dan menghayati sajak-sajak
yang dihadirkan oleh EM Yogiswara.
Penulis adalah
Guru Bahasa dan Sastra di SMA Pelita Raya Jambi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar