BUTUH TELA DAN SAAT KORUPSI MENGGURITA
Oleh : Hesti Widayani, S.Pd
Korupsi di Indonesia sudah membudaya tanpa proses peradilan yang terbuka. Semua pihak yang terkait dengan sebuah kasus korupsi seakan menutup mata dan lepas tangan seolah-olah tanpa terjadi apa-apa. Mereka yang disebut koruptor di negeri ini dapat dipastikan orang-orang terpelajar. Mereka berasal dari kalangan terdidik yang sesungguhnya tahu bahwa korupsi itu perbuatan jelek yang ganjarannya adalah dosa. Sekolah dituntut menjadi model pendidikan anti korupsi. Hal demikian menuntut peran guru untuk mengenalkan dan membumikan pendidikan anti korupsi. Guru dinilai sosok yang paling tepat dalam membentuk anak-anak didik supaya menjadi sumber daya manusia yang bisa memahami dan mengimplimentasikan pendidikan anti korupsi.
Mungkin terpikir oleh kita kenapa kok korupsi sepertinya tidak habis-habisnya di negara ini. Bisa jadi yang pertama, karena memang pelaku korupsinya sangat menikmati uang hasil korupsinya, dengan miliaran bahkan triliunan rupiah apa saja bisa mereka beli. Mobil mewah, rumah mewah sampai bisa menyekolahkan anak ke universitas terkemuka di luar negeri. Artinya pelaku korupsi sudah tidak memikirkan lagi soal kesengsaraan banyak orang. Yang kedua, korupsi makin marak di tanah air karena sering dilakukan berjamaah (bersama-sama) melibatkan atasan sampai bawahan. Malah dari melibatkan pusat sampai daerah. Karena itu pelaku korupsi merasa aman dari kesalahan yang dilakukan. Dan ketiga, karena mudah dilakukan dan sangksinya ringan.
Hal apa saja bisa dikorupsi, dari bangunan, jembatan dan jalan tol. Bikin SIM, STNK, sampai Kartu Keluarga Penuh dengan nuansa korupsi. Malah sejumlah aparat desa tega mengorupsi jatah beras miskin (raskin) warga kampungnya. Berasnya dijual atau dibagi-bagikan hanya untuk kerabatnya.
Ratusan triliun rupiah yang dirampok itu seharusnya bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki sekolah yang rusak, menaiki gaji guru, membayar biaya sekolah agar gratis uang pangkal + SPP, dan membangun desa-desa tertinggal. Selain itu korupsi juga membunuh rakyat. Ratusan triliun rupiah yang dikorupsikan seharusnya bisa dimanfaatkan untuk pengobatan gratis bagi rakyat miskin, membantu kebutuhan sandang, pangan atau membuka lapangan kerja. Tetapi itu semua hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Maka banyak rakyat Indonesia yang mati karenanya. Mau berobat susah, mau kerja susah bahkan mau makanpun susah.
Korupsi bisa dibilang telah menggurita, menyedihkan memang. Namun inilah aib yang harus kita ubah segera. Saking eratnya kita dengan korupsi, kadangkala kita bahkan secara tak sadar menolerir tindak korupsi. Untuk membayar pajak berkendaraan, saat berurusan dengan polisi kita lebih suka lewat jalur cepat dan membayar biaya proses administrasi daripada repot mengantre atau disidang. Begitu pula saat ingin memproses surat menyurat. Supaya mulus, berikan saja fulus, kita pun mengembangkan korupsi untuk mempermudah diri sendiri.
Masih ingat dengan bentuk korupsi yang tidak kentara. Seperti mencuri jam kerja untuk internetan; chatting atau fesbukan, menggunakan telpon kantor untuk keperluan pribadi, mengulur-ngulur waktu saat mengajar atau membiarkan anak belajar mandiri tanpa bimbingan. Terkadang orang tua juga berperan. Tanpa disadari mengajari anak untuk berlaku tidak jujur. Misalnya ketika ia harus belajar dan tidak boleh menonton tv sementara orangtuanya tetap asyik memelototi. Ini semua secara tidak langsung telah mengajarkan ketidak jujuran pada anak.
Praktik-praktik korupsi di sekolah masih mudah didapatkan. Masih ada guru-guru Pegawai Negeri Sipil yang terlambat datang ke sekolah dan pulang sebelum waktunya pulang, guru-guru jarang mengoreksi PR yang diberikan kepada siswa, memberikan latihan/tugas tanpa ada pengawasan. Hal-hal seperti ini penting dalam menanamkan nilai kejujuran dan sportifitas pada anak. Sebab teladan guru lebih berharga dari sekedar himbauan. Selain itu dalam hal ujian. Kasus “contek-mencontek” apakah sudah mendapatkan perhatian lebih? Antara si penyontek dan yang dicontek telah diberi pengertian bahwa perbuatan seperti itu tidak benar dan harus mendapatkan sangsi. Karena tanpa disadari kebisaan buruk mencontek akan menjadi bibit merugikan karakter anak nantinya.
Bila tidak pernah ada sangsi dari guru, maka anak yang baik dan pintar akan menjadi apatis dalam belajar. Sebab nilainya akan selalu di bawah mereka yang bodoh namaun terampil mencontek. Dan yang bahaya anak akan mempunyai anggapan bahwa perbuatan buruk (seperti mencontek) boleh saja dilakukan asal tidak ketahuan guru. Bila perilaku tidak jujur dan curang terus menerus diterima siswa, maka ia akan memahami bahwa tidak jujur dan curang itu kadang-kadang perlu, karena itu akan menguntungkan dirinya. Maka nilai-nilai moral seperti sidiq (kejujuran) dan amanah (bisa dipercaya) akan tertanam lewat pemahaman mereka atas perilaku orang tua dan guru pada mereka. Demikian pula kasus guru yang tidak mengoreksi PR. Mereka akan memiliki konsep bahwa orang berkuasa (dalam hal ini adalah guru) boleh melakukan sekehendak hatinya. Karena dendam, anak merindukan dirinya memiliki kekuasaan kelak dan berlaku seenaknya.
Di bagian lain kita bisa memulai dengan menerapkan pola pendidikan yang menyentuh mental dan nurani. Mulailah dengan teladan dan contoh dari guru yang mendidik. Menanamkan teladan itu butuh kesabaran dan ketekunan. Member contoh itu memerlukan kesadaran, nilai-nilai serta pola-pola kontinuitas. Hanya guru-guru yang mempunyai integritas dan dedikasi bisa melakukannya. Guru yang baik adalah guru yang selain bisa memberikan teori atau materi pelajaran, juga bisa memberikan contoh yang baik bagi siswa selaku generasi “pengganti”. Kita harus lebih berkomitmen untuk membangun bangsa yang benar-benar bersih dari korupsi.
Begitu banyak dan besarnya bahaya yang ditimbulkan oleh korupsi, tidak ada alasan bagi kita untuk menutup mata dengan membiarkan korupsi merajalela dan menggurita. Kita punya peranan penting untuk mengajak anak didik menjauhkan diri dengan korupsi. Memberikan pemahaman agar terbentuk pribadi yang anti korupsi.
Sebagaiman Islam sangat memusuhi tindakan korupsi. Rasulullah pernah murka pada seorang petugas zakat suku Azad yang menerima hadiah. Beliau bersabda. Naik ke atas imbar dan berkhutbah “Demi Zat yang jiwa Muhammad ada ditanganNya tidaklah aku menugaskan seseorang atas sesuatu pekerjaan yang dipercayakan Allah kepadaku, kemudian dia berlaku curang, maka pada hari kiamat ia akan datang dengan memikul unta yang mulutnya tak henti-henti meneteskan busa, atau sapi yang terus-terus mengauk atau kambing yang tak berhenti mengeluarkan kotoran.” Kemudian Rasulullah mengingatkan, “sungguh orang-orang dahulu sebelum kamu telah dihancurkan oleh Allah karena jika ada bangsawan diantara mereka yang mencuri (korupsi), mereka membiarkan. Tetapi jika orang lemah mencuri, mereka menegakkan had(hokum) atas orang itu. Demi Allah! Andaikata Fatimah (putrid Muhammad) mencuri, pasti aku potong tangannya” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad))
Allah SWT pun sudah mengingatkan kita semua bahkan hingga saat ini untuk tidak melakukan kecurangan dalam bentuk apapun. Termasuk di dalamnya praktik-prktik korupsi dalam mengelola harta Negara. “siapa yang berbuat curang, pada hari kiamat ia akan datang dengan harta yang dicuranginya. Kemudian tiap-tiap dari diri akan dibalas sesuai dengan perbuatannya” (Q.S Ali Imran : 161). Dan inti dari pendidikan anti korupsi adalah mengajarkan kejujuran. Sebab pangkal korupsi adalah kebohongan terhadap nurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar