Selamat Datang! Di Cafebahasa dan Opini-Bambang Setiawan-Blog Informasi dan Kumpulan Opini-Jangan lupa isikan Komentar Anda demi perbaikan ke depan-Kirim artikel anda untuk diposting-bbg_cla@yahoo.com

Kamis, 05 Juli 2012

Meretas Masa Depan

MERETAS MASA DEPAN TANPA BATAS BAGI  PENDIDIKAN
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Oleh: Daumi Rahmatika, S.E

     Menjadi anak berkebutuhan khusus (ABK) bukanlah hambatan untuk menempuh pendidikan demi masa depannya yang lebih baik. Bila semua komponen pendidikan  dan masyarakata turut aktif terlibat. Keterlibatan itu menyangkut kepedulian hingga mendorong untuk meraih cita-cita bagi ABK di negeri ini.
    Berikut seperti yang dialami Aldo: “Ma, sekolah, Ma sekolah,” kata Aldo mengguncang-guncang lengan mamanya dengan kuat  sambil menunjuk sebuah tas  sekolah yang berada di atas meja belajarnya di suatu malam. Memang, sudah satu minggu Aldo tidak pergi ke sekolah, karena masih libur semester. Kegiatan rutin yang biasa dia lakukan itu berubah tidak seperti biasanya akhir-akhir ini.  Jika ucapan itu keluar dari mulut seorang anak berusia 7 tahun, tentu bukan sesuatu yang istimewa.

    Akan tetapi, ucapan itu sangat berbeda jika keluar dari mulut seorang anak penyandang autis yang sudah berumur 13 tahun. Walaupun kata-kata itu diucapkan dengan terbata-bata dengan lafal yang tidak sempurna. Mamanya tersentak dan kaget bukan kepalang, seketika menghentikan kegiatannya dan menatap  muka Aldo secara serius dan penuh berharap agar Aldo menatap wajah mamanya. Setelah berhadapan muka tidak sepatah katapun keluar dari mulut mamamnya, yang ada hanya linangan air mata. Perasaan haru, senang, terkejut, bahagia bercampur aduk, sedangkan Aldo tidak mengerti apa yang sedang terjadi dengan mamanya. Aldo terdiam memandang mamanya dengan pandangan kosong.
    Kejadian malam itu adalah sebuah mukjizat bagi keluarga Aldo, terutama mamanya. Banyak makna dibalik ucapan “dua kata” yang bisa diungkapkan. Pertama, Aldo sudah bisa mengucapkan dua kata meskipun terbata-bata, karena  sehari-hari  dia jarang melakukan percakapan dua arah dan cenderung merancau mengucapkan kata tanpa makna. Untuk bisa mengucapkan sebuah kata saja, Aldo harus mengikuti serangkain terapi antara lain terapi wicara, terapi kepatuhan dan masih banyak lagi yang telah dijalaninya sejak berumur 3 tahun dan dilakukan setiap hari. Belum serangkaian pengobatan yang harus dijalaninya. Ucapan itu tentu saja salah satu hasil dari kesabarannya dari kedua orang tuanya untuk membantu Aldo agar mempunyai tumbuh kembang yang lebih baik.
Kedua, Aldo sudah mampu mengungkapkan perasaan dan keinginannya walaupun mungkin apa yang diungkapkan itu hanyalah spontanitas. Perasan itu memang ditunggu-tunggu. Dalam kebiasaan sehari-hari Aldo memang belum memiliki keinginan yang terkontrol oleh dirinya.
Ketiga, Aldo merindukan suasana yang rutin dialami yakni kegiatan yang dinamai  pergi ke sekolah. Mungkin, yang ada dibenaknya yang terpaku lekat di pikirannya adalah dia bisa  bertemu banyak orang dimana dia merasa home atau nyaman, namanya dipanggil kawan-kawannya, keluar dari suasana rumah, melihat dan memperhatikan perilaku orang-orang disekitarnya kemudian dia menirukannya, diperlakukan sama oleh orang-orang di lingkungan sekolah dan diterima sebagai anggota sekolah dengan hangat oleh semua temannya  meskipun dia seorang penyandang autis.
    Kerinduan Aldo terhadap suatu  sekolah tentu saja disikapi oleh orang tuanya dengan positif, mengingat 6 tahun lalu karena kondisinya yang autis, selalu mendapat penolakan ketika dia mendaftar sebagai siswa. Beruntunglah masih ada sebuah sekolah yang berbaik hati mau menerima, hingga dia mampu menyelesaikan pedidikan selama 6 tahun di sekolah dasar tersebut dan Alhamdulillah lulus pada tahun 2012 ini.
    Tidak semua anak berkebutuhan khusus seberuntung Aldo, demi sebuah “pendidikan dan sekolah” seorang anak autis harus tinggal di asrama dengan gurunya di kota lain terpisah dengan orang tuanya karena di kotanya tidak ada sekolah yang mau menerima. Banyak kejadian bahwa ibu dan anaknya harus berpisah dengan ayahnya, demi menemani anaknya yang harus menempuh pendidikan di propinsi lain karena di propinsi tempat tinggalnya belum ada sekolah untuk anaknya yang berkebutuhan khusus. Seorang ibu harus menahan kecewa dan tidak menyangka ketika mendaftarkan anaknya yang berusia 7 tahun dengan kondisi kaki anaknya yang kurang sempurna ditolak mendaftar ke sebuah SD di dekat rumahnya. Bahkan banyak orang tua berpustus asa dan membiarkan anaknya tidak mendapatan pendidikan  dan ketrampilan karena tidak tahan dengan penolakan-penolakan yang dialami ketika mendaftar, karena  masih ada saudaranya yang normal yang harus diurus dan memerlukan biaya.  Dan masih banyak cerita yang lebih mengharukan lagi terkait anak autis.
    Saharusnya kejadian-kejadian diatas tidak terjadi. Negara kita yang telah merdeka hampir 67 tahun masih banyak warga negaranya, khususnya yang berkebutuhan khusus (ABK) yang belum bisa menikmati arti sebuah kemerdekaan terutama dalam hal pendidikan.  Ki Hajar Dewantara sebagai “founded father” sebagai peletak dasar pendidikan telah berpesan, “Betapa pentingnya arti sebuah pendidikan yang bisa dinikmati oleh seluruh rakyatnya tanpa diskriminasi untuk memperbaiki nasib suatu bangsa. Menurut estimasi WHO (World Health Organization) bahwa penyandang disabilitas (berkebutuhan khusus) di negara berkembang seperti Indonesia mencapai 10 persen dari jumlah penduduk.
 Berdasar data Susenas tahun 2003, penyandang disabilitas  Indonesia berjumlah 1,48 juta, sedangkan penyandang disabilitas usia sekolah (5 – 18 tahun) adalah 21,42% dari seluruh penyandang disabilitas, sedangkan hanya  10 % yang menempuh pendidikan formal.
    Seandainya Ki Hajar Dewantara dan para pendiri bangsa ini masih hidup, tentu sangat kecewa melihat generasi penerusnya masih belum mendapatkan kesempatan pendidikan tanpa diskriminatif  yang telah beliau perjuangkan 80 tahun yang lalu. Bahkan, banyak yang tidak bisa menikmati indahnya sebuah sekolah, mengenyam pendidikan dasar. Untuk mendapatkan pendidikan dasar saja orangtua anak berkebutuhan khusus (ABK) harus berjuang dengan linangan air mata, dan menahan segala kesedihan, memendam rasa duka dan malu dari pandangan masyarakat sekelilingnya.
 Pendidikan adalah sesuatu yang sangat berharga dan mahal bagi Anak berkebutuhan khusus baik dari segi biaya maupun kesempatan. Banyak yang menyatakan bahwa anak berkebutuhan khusus tidak layak menempuh pendidikan formal di sekolah umum atau regular, karena sekolah luar biasa jauh dari tempat tinggalnya dan sangat terbatas jumlahnya dan hanya berada di ibu kota kabupaten. Tentulah, kondisi ini sangat memprihatinkan. Bagaimana kondisi bangsa ini ke depan jika generasi penerusnya tidak mempunyai kompetensi apa-apa?
    Padahal, dalam perspektif kebijakan bahwa payung hukum tentang pendidikan tanpa diskriminatif  sudah jelas dijamin Negara. Sebagaimana tercantun dalam UUD 1945 pasal 31 (1) mengatakan, “ Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan.” Ayat 2,” Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Meskipun PBB telah mengatagorikan Indonesia sebagai Negara yang telah mampu mencapai target MGD goal no 2 yaitu pendidikan dasar universal tahun 2015 sebagaimana program eduction for all yang telah dideklarasikan di Dakkar tahun 2000, namun dalam implementasinya masih harus diperjuangkan.
    Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2010 pasal 53 ayat 2 yakni satuan pendidikan wajib menjamin akses pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang membutuhkan pendidikan khusus dan layanan khusus. Permen nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan potensi kecedasan dan bakat istimewa. Tujuannya adalah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik yang memiliki kelainan fifik, emosional, mental dan sosial atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai denan kebutuhan dan kemampuannya. Katagori kelainan adalah tuna netra, tuna rungu,tuna wicara, tuna grahita, tuna daksa,tuna laras, kesulitan belajar, autism, memiliki gangguan motoric, dan memiliki kelainan lainnya, tuna ganda, korban penyalah gunaan narkoba, obat terlarang dan zat aditif lainnya.
    Aksi Forum Pendidikan Dunia di  Dakkar tahun 2000, dalam Education For All, mendeklarasikan bahwa setiap sekolah perlu berubah dan beradaptasi. Salah satunya wujudnya adalah membentuk sekolah Inklusi. Dalam sekolah inklusi menjamin keberagaman siswa dalam hal kecerdasan, keadaan fisik, tingkah laku, keadaan ekonomi,dan latar belakang etnis.
    Dalam prakteknya, setiap tahun ajaran baru tiba, masih terjadi anak berkebutuhan khusus kesulitan untuk mendaftar anaknya ke institusi pendidikan. Penolakan- penolakan masih terjadi ketika mendaftar ke sekolah regular atau umum baik milik pemerintah atau swasta.


Bagaimana solusinya?
    Mengingat jumlah anak berkebutuhan khusus meningkat dengan pesat setiap tahunnya, pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan akses pendidikan dengan kesetaraan (equity) menjadi skala prioritas yang tercetak dalam buku biru rancangan strategis pendidikan nasional. Inilah bentuk komitmen pemerintah dalam mencerdaskan bangsanya.
    Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam membantu kesempatan pendidkan adalah: Pertama, perlu kepedulian dan kerjasama semua pihak. Seorang anak berkebutuhan khusus ketika mendaftar di sebuah sekolah umum, harus membawa syarat, hasil tes IQ yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit atau Lembaga lainnya yang kompeten. Ternyata kesulitannya Rumah Sakit atau lembaga tersebut belum mampu  dari segi peralatan dan Sumber daya manusianya untuk melakukan uji IQ, sehingga hasilnya adalah tidak bisa dan cenderung menyalahkan anak ABK karena tidak Kooperatif.
Hal ini sangat merugikan bagi siswa dan orang tua, karena dengan rekomendasi yang salah, anak kehilangan kesempatan emas untuk belajar. Maka perlu kerja sama antara pihak keluarga, institusi pendidikan untuk merekomendasi dan menyediakan alat yang dibutuhkan, jangan sampai hal ini tidak terjadi.
Kedua, sosialisasi yang terus-menerus tentang ciri—ciri anak berkebutuhan khusus dan solusi pendidikan ke depan kepada semua elemen masyarakat oleh instansi terkait atau masyarakat sendiri. Sehingga tidak terjadi keterlambatan informasi dan mendapat penanganan dini.
Ketiga, sampai saat ini institusi pendidikan sebagai pintu gerbang masa depan pendidikan anak berkebutuhan khusus, ternyata belum semua paham apa itu anak berkebutuhan khusus dan bagaimana penanganannya. Untuk itu perlu sosialisasi kepada sekolah-sekolah dari tingkat PAUD sampai jenjang pendidikan selanjutnya di seluruh kota dan kabupaten.
Keempat, universitas yang mempunyai jurusan Pendidikan seharunya memasukkan kurikulum tentang  Pendidikan Luar Biasa   sebagai MULOK, sehingga ketika terjun ke masyarakat mampu menangani, jadi bukan dijadikan alasan untuk menolak karean bukan dari PLB. Universitas sendiri membantu penyelenggara Pendidikan Luar Biasa supaya tercipta perguruan tinggi yang humanis. Kelima, terlepas kekurangan tentang pelaksanan sekolah inklusi yang ditawarkan oleh Pemerintah, ternyata mampu mewadahi ABK untuk mengenyam pendidikan. Dan mampu mendorong anak berkebutuhan khusus untuk mempunyai tumbuh kembang yang lebih baik.

Daumi Rahmatika, SE
Mentor/Pembimbing Sanggar Menulis Evergreen
Alamat: Jln. Kapten. Abd. Chatib no 16 RT 12
Kelurahan Pematang Sulur, Kecamatan Telanaipura
Kota Jambi, JAMBI. Kode Pos 36124 Telp : 085217981513
Email: herasutrisno@gmail.com
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar