Selamat Datang! Di Cafebahasa dan Opini-Bambang Setiawan-Blog Informasi dan Kumpulan Opini-Jangan lupa isikan Komentar Anda demi perbaikan ke depan-Kirim artikel anda untuk diposting-bbg_cla@yahoo.com

Kamis, 05 Juli 2012

Degradasi Karakter

Degradasi Karakter dalam Pendidikan
Oleh: Meila Rosianika

Tidak asing lagi di telinga kita mengenai pendidikan berkarakter. Di sekolah-sekolah mulai gencar menanamkan karakter dalam setiap perencanaan pembelajaran. Ya, pengawas sekolah yang datang mengawas di sebuah sekolah kerap menanyakan karakter apa yang akan dibangun oleh seorang guru pada setiap kompetensi dasar mata pelajaran. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Jelas dengan dasar hukum seperti itu,
tenaga pendidik memiliki tugas yang tidak ringan. Yakni mendidik generasi penerus bangsa dan membentuknya menjadi insan yang berdaya saing di masa yang akan datang. Satu hal yang perlu disadari adalah, tidak ada yang pasti di masa depan. Ilmu yang diajarkan hari ini bersifat dinamis, terus berkembang seiring perkembangan zaman. Itulah kenapa titik berat pendidikan bukan sekedar kognitif saja. Melainkan penanaman bagaimana cara bersikap dan memiliki keterampilan. Dalam hal ini, guru tidak cukup memberikan contoh, namun harus mampu menjadi contoh.

Selain itu, merujuk pada pasal 3 UU Sisdiknas tertulis, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Hal inilah yang mendasari adanya tuntutan “Berkarakter” dalam sistem pendidikan kita. Memang, pada lembar perencanaan tertulis beragam karakter (yang direncanakan) akan diberikan kepada peserta didik. Namun, dalam implementasinya mari kita analisis satu persatu. Sudahkah sekolah-sekolah yang berlabel penanaman karakter benar-benar telah membentuk karakter?

Pertama, sistem penerimaan siswa baru di sekolah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak beberapa oknum yang memasukkan anaknya di sekolah favorit dengan “jalur belakang”. Dari Sengeti dikabarkan pihak Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri Sengeti Kabupaten Muarojambi, diduga melakukan penerimaan siswa baru lewat jalur belakang. Padahal jadwal penerimaan siswa baru sudah lewat sejak beberapa waktu lalu. (www.jambiekspres.co.id, 16 September 2011). Bahkan sejumlah sekolah mematok harga Rp 5 juta bagi calon siswa baru yang tidak lulus PSB (Kabarindonesia.com,14 Juli 2008). Dari situs tersebut dipaparkan bahwa siswa yang tidak lulus PSB atau Penerimaan Siswa Baru dapat masuk dengan keharusan membayar lebih. Padahal, biaya masuk di salah satu sekolah negeri tersebut kalau lulus berdasarkan prosedur hanya Rp 1.020.000. Dari sini kita bisa melihat bahwa proses penjaringan dengan sistem sekolah negeri kita masih rawan dengan praktik curang oknum-oknum tertentu. Itupun dengan tujuan yang hanya untuk menjaring input yang maksimal. Prosesnya? Belum tentu. Ketersediaan sarana dan prasarana canggih dengan uang pembangunan yang sangat tinggi saja bukan menjadi jaminan sesuainya layanan belajar yang disediakan pihak sekolah.

Adanya sistem persyaratan standar nilai tes kognitif  juga merupakan suatu syarat masuk ke dalam beberapa sekolah yang (katanya) unggul. Padahal, hal ini secara langsung mengimplikasikan bahwa sekolah tersebut bukan unggul di dalam proses, melainkan hanya –sekali lagi- unggul dalam input atau siswa yang masuk saja. Sekolah yang benar-benar unggul harusnya tidak hanya semata-mata menilai kemampuan kognitif siswa baru yang akan masuk, tapi harusnya mampu memberikan suatu sistem tes kecerdasan majemuk agar dapat disesuaikan dengan klasifikasi gaya belajar siswa. (cari macam-macam gaya belajar). Belajar dari negara Singapore, dimana strategi yang dapat digunakan dalam pembelajaran di sana meliputi co-operative learning, whole-brain processing, dan experiential learning. Penerapan strategi tersebut harus mempertimbangkan perbedaan gaya belajar, minat dan tingkat kematangan siswa. Michael Grinder, pengarang Righting Education Conveyor Belt, mencatat ada tiga modalitas belajar yaitu visual, auditorial dan kinestik. Belajar visual yaitu belajar dengan cara melihat (menggunakan mata), modalitas belajar auditorial yaitu belajar dengan cara mendengar (menggunkan telinga), sedangkan modalitas kinestik yaitu belajar dengan cara bergerak, bekerja dan menyentuh (menggunakan tangan).


Identifikasi gaya belajar tersebutlah yang akan membuat sekolah harus mengunggulkan diri dalam proses pembelajaran, bukan menekankan pada input pembelajaran. Lalu, bukankah menurut Herbert Spencer tujuan utama pendidikan tidak hanya pengetahuan, melainkan juga tindakan. Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses juga mengisyaratkan bahwa dalam proses pembelajaran, seorang guru sebaiknya dapat memperhatikan karakteristik siswanya. Karakter semacam apa yang akan dibangun pada sistem penerimaan siswa baru yang seperti ini? Karakter yang terobsesi pada hasil, bukan proses. Karakter diskriminatif bagi siswa berkognisi rendah yang tak lulus sekolah unggul karena (katanya) mereka bodoh. Padahal sudah jelas bahwa tidak ada siswa yang bodoh. Howard Gardner dalam buku  ‘Intelligence Reframed : Multiple Intelligence for The 21st Century’ (1999) menjelaskan sembilan kecerdasan majemuk. Kecerdasan majemuk tersebut antara lain; kecerdasan verbal linguistik (cerdas kata), kecerdasan logis mathematis (cerdas angka),  kecerdasan visual spasial (cerdas gambar), kecerdasan musikal (cerdas music/lagu), kecerdasan kinestetik (cerdas gerak),  kecerdasan interpersonal (cerdas sosial), kecerdasan intrapersonal (cerdas diri), kecerdasan naturalis (cerdas alam), dan kecerdasan eksistensial (cerdas hakekat).

Jadi sebenarnya tak ada siswa bodoh dalam pembelajaran. Seluruh siswa pasti pintar dan cerdas menurut kecenderungan masing-masing. Karena itu, pola serta gaya belajar berperanan penting. Anak kinestetik, misalnya, akan lebih cepat menghafal bila disertai olah tubuh atau gerakan. Jadi, gaya belajar anak kinestetik harus disertai gerakan atau olah tubuh. Itulah kenapa seharusnya siswa dibagi perkelas bukan berdasarkan kemampuanya, melainkan kecendrungan gaya belajarnya. Munif Chatib juga menggelorakan dalam bukunya “Sekolahnya Manusia” bahwa sekolah unggulan adalah sekolah yang memanusiakan manusia. Hal ini berarti  setiap instansi pendidikan harusnya mengharga setiap potensi siswa. Tercermin apabila suatu sekolah membuka kesempatan yang lebar bagi semua siswa. Bukan menyeleksi melalui tes formal yang memiliki interval nilai berupa angka untuk menyatakan batasan diterima atau tidak. Perbedaan gaya belajar siswa ini yang seharusnya merupakan layanan ekstra pendidikan suatu sekolah. Bukan sekedar tidak mau repot dengan hanya menerima kategori siswa berIQ tinggi saja.
Kedua, pendidikan berkarakter harusnya mengenal prinsip keseimbangan. Belajar memang merupakan kebutuhan, tapi tentu diselingi dengan jeda guna mengistirahatkan diri dari penatnya tumpukan materi. Ada pepatah yang mengatakan bahwa mundur satu langkah kadang juga diperlukan untuk dapat maju seribu langkah. Jam belajar di Indonesia dikenal padat. Siswa diberi libur satu hari saja dalam seminggu. Itupun tak jarang suatu sekolah memanfaatkan hari Minggu untuk mengambil nilai praktik Pendidikan Jasmani dan Olahraga atau kegiatan ekstrakulikuler lainnya. Padahal, jika kita mau belajar dari negara yang memiliki pendidikan maju, Jepang, mengurangi hari belajar menjadi 5 hari, sejak 2002. Di sana juga mengenal Kokoro no Note, yakni meningkatkan pendidikan karakter melalui program pembagian laptop untuk pendidikan moral dan Kokoro ni Sensei (Pengembangan pendidikan moral di kalangan pendidik). Orientasi dengan skala internasional juga tak tanggung-tanggung. Dari Laporan Studi Benchmarking Program BERMUtU 2010 Ditjen PMPTK dan Balitbang memperlihatkan bahwa di SMA Saikyo Kota Kyoto memiliki keunikan tersendiri, yaitu mata pelajaran Bahasa Inggris yang diajarkan di sekolah harus digalakkan, dengan maksud agar sekolah ini dapat berkepribadian secara nasional dan internasional.

Keunikan lain dari sekolah tersebut adalah “enterprising education”, yang merupakan pendidikan yang mengarahkan siswanya pada peningkatan kemampuan (kecerdasan). Pengembangan ini dilakukan dengan bekerjasama dengan pengusaha di Kyoto, Toshiba dan Kansai. Strategi pembelajaran yang dilakukan guna mendukung program ini, antara lain melalui pengembangan English Communicative Competency (ECC), yang ditangani oleh 4 native speakers untuk 800 orang siswa. Program ini diarahkan pada penggunaan e-learning dan didukung dengan Kamus Jepang dan Inggris, dan 200 komputer. Sistem pembelajaran ECC adalah lebih menekankan pada “how to speak dari pada what to speak”. Kita di sini masih berkutat pada pelatihan penggunaan Teknologi dan Informasi Komputer atau TIK untuk guru. Sudah menjadi rahasia umum setelah pelatihan ini jarang ada evaluasinya. Tenaga pendidik yang telah dilatih dengan menggunakan dana negara kadang juga kerap masih menggunakan sistem tradisional ceramah daripada harus repot-repot membuat halaman atau video dalam mengembangkan e-learning.

Sebagai solusi, hendaknya pemerintah kita harus melakukan penentuan secara terperinci apa sebenarnya tujuan dari pendidikan karakter yang ingin dikembangkan oleh negara kita. Tujuan pendidikan sebagaimana terdapat dalam UU Sisdiknas sepertinya masih terlalu umum. Padahal, dalam kerangka pengembangan pendidikan karakter sangat perlu untuk menetapkan secara jelas apa tujuan pendidikan karakter. Setali tiga uang dengan Jepang,  Cina pada tanggal 1 Februari 2000, Presiden Jiang Zemin mengumpulkan semua anggota Politbiro khusus untuk membahas bagaimana mengurangi beban pelajaran siswa melalui adopsi sistem pendidikan yang patut secara umur dan menyenangkan, dan pengembangan seluruh aspek dimensi manusia; aspek kognitif (intelektual), karakter, estetika, dan fisik (atletik).

Mengurangi jam belajar bukan berarti membudayakan rasa malas. Justru rasa malas belajar bisa saja terjadi akibat kebosanan yang dialami oleh siswa. Memang hal ini tidaklah mudah. Perombakan sistem secara besar-besaran pasti memiliki pro dan kontra. Reformasi birokrasi masih terlalu alot untuk dijejali dengan reformasi dalam bidang pendidikan. Namun tentu saja pendidikan bukan hanya untuk masa sekarang dan beberapa yang akan datang saja. Para pemangku kebijakan perlu memikirkan lagi mengenai efisiensi waktu belajar guna meraih hasil yang tetap efektif. Bukan kejenuhan dan uap mengantuk siswa pada jam-jam yang –harusnya- produktif digunakan untuk belajar.

Ketiga, sistem evaluasi pendidikan. Karakter ini itu bisa saja tertulis dalam RPP atau Rencana Pelaksanaan Pendidikan. Tapi akankah karakter tersebut tertanam dan terevaluasi dengan sistem pendidikan yang mengandalkan Ujian Nasional sebagai instrumen evaluasi pendidikan? Pemikiran tetang UN lahir pada tahun 2003 dan masih berlanjut sampai sekarang sebagai produk dari kebijakan pemerintah yang menyiratkan “Keharusan lulus walaupun curang”. Ujian Nasional cukup mencederai sistem pendidikan kita. Dengan adanya standar ini, intervensi bukan hanya kepada siswa, melainkan juga kepada guru, kepala sekolah dan sekolah itu sendiri secara umum.

UN  membuat beberapa sekolah menghalalkan berbagai cara agar siswanya menjadi lulus. Di luar logika, keharusan secara tidak langsung ini benar-benar tidak sesuai dengan kurva normal. Dalam hukum alam, adalah wajar jika siswa dalam suatu sekolah memiliki kemampuan yang beragam. Ada siswa yang kecendrungan berkognitif tinggi, namun ada juga yang tidak. Memang, telah ada peraturan baru untuk UN. Jika sebelumnya kelulusan siswa SD, SMP, maupun SMA sederajat ditentukan oleh pemerintah dengan bobot 100%, selanjutnya mengalami perubahan menjadi 60%. Sedangkan 40% lainnya ditentukan sekolah berdasarkan hasil Ujian Akhir Sekolah (UAS) dan nilai rapor siswa yang bersangkutan selama menuntut ilmu di sekolah. Namun, Ujian nasional tidak cukup mewakili penilaian autentik yang ditujukan dalam pendidikan berkarakter. Karakter apa yang ditanamkan di tengah hingar bingar kebocoran kunci jawaban? Kebiasan menyontek asal jangan sampai malu tidak lulus? Saat beberapa oknum guru juga mulai menghalalkan berbagai cara. Pendidikan seharusnya lepas dari kepentingan-kepentingan yang bersifat politis. Dampak pelaksanaan UN juga menimbulkan efek domino. Adanya kecemasan siswa tentu saja mengganggu psikologis dan perkembangan seorang peserta didik. Namun pemerintah melalui BSNP tetap berkeyakinan bahwa UN merupakan salah satu cara yan paling efektif untuk mengukur standar pendidikan pada seiap sekolah yang ada. Bahkan UN merupakan amanat dari PP 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).

Kemudian, dengan pakta integritas UN jujur tidak sepenuhnya jaminan. Selembar kertas sebenarnya sama sekali tak berhak menentukan masa depan siswa. Sebagai contoh saja kerap sekali ditemukan siswa yang dalam kesehariannya biasa saja namun mendapatkan nilai tertinggi UN di suatu sekolah. Bukan meragukan, tapi hal ini tak dapat diterima akal sehat. Juga masih segar di ingatan kita mengengai penangkapan seorang mahasiswa yang menjual kunci jawaban kepada siswa di salah satu sekolah negeri di Jambi beberapa waktu yang lalu. Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menemukan bukti kecurangan dan kebocoran soal dan kunci jawaban pada pelaksanaan ujian nasional untuk jenjang SMP. Hasil investigasi ICW menemukan bocoran soal dan kunci jawaban telah diberikan kepada siswa satu hari sebelum ujian. Bocoran diperoleh siswa dari guru dan guru memperoleh bocoran dari pegawai tata usaha.

Inikah karakter jujur yang dimaksud? Ing Ngarso sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. (Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan). Jika memang UN tidak bisa ditiadakan, maka sistem pendidikan yang merakyat dan merata haruslah segera diterapkan. Bukan mempolitisasi dunia pendidikan seperti barang dagangan. Input, proses dan output pendidikan adalah tiga faktor penting. Kita tidak bisa semaunya saja memilih-milih input. Karena seluruh warga Negara Indonesia berhak sekolah dan merasakan pendidikan. Namun proses yang tepat, tentu saja akan menuai hasil yang bermanfaat.

Biodata Penulis

Nama Lengkap    : Meila Rosianika, S.Pd
Asal Sekolah    : SMP-SMA Islam Al-Falah Kota Jambi
Alamat Email    : meilarosianika@yahoo.com
No Hp        : 0853 66920600







Tidak ada komentar:

Posting Komentar