PENDIDIKAN ALTERNATIF :
JAWABAN BAGI WARGA RENTAN DI DALAM DAN DI SEKITAR KAWASAN HUTAN
Oleh: Umi Syamsiatun
Melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Negara telah memberikan jaminan kesamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga Negara tanpa dibatasi oleh wilayan administrasi, teritori, agama, suku bangsa dan budaya. Jaminan terhadap hak dan kewajiban setiap warga Negara dalam segala bidang telah diatur secara jelas dan tegas dalam pasal-pasal dan ayat ayat yang terkandung didalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Hak terhadap akses pendidikan sebagai salah satu hak sipil warga Negara diatur dalam Pasal 31 ayat 1-5 UUD 1945, dimana dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dengan mengikuti program pendidkan wajib dimana Negara yang harus menyelenggarakan pelaksanaan system pendidikan nasional dan pemerintah wajib membiayainya dengan memprioritas anggran pendidkan sebanyak 20% dari APBD aatau APBN.
Dengan demikian, secara ideal seharusnya pendidikan bisa diakses oleh seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai merauke dari kota hingga ke desa. Tapi kondisi dilapangan menunjukkan fakta yang berbeda, dimana pendidikan masih menjadi barang langka dan barang mahal yang tidak bisa dijangkau dengan mudah oleh kelompok masyarakat tertentu. Cita-cita pendidkan yang merata dengan program wajib belajar pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan lmu pengetahuan dan teknologi serta mendidik anak bangsa agar berakhlak mulia masih jauh dari kenyataan dilapangan.
Kelompok masyarakat yang hidup di daerah pedesaan yang jauh dari akses informasi dan minim sentuhan fasilitas publik menjad kelompok yang paling rentan yang sangat mungkin generasinya tidak bisa mencicipi pendidikan yang layak. Kelompok-kelompok masyarakat yang demikian harus rela menerima kenyataan bahwa pendidikan adalah hal mewah bagi anak-anak mereka.
Data yang dihimpun oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) mencatat bahwa diseluruh Indonesia 33.000 desa berada di dalam dan disekitar kawasan hutan Negara. Dengan model penguasaan kawasan hutan yang sentralistik dan berada di bawah kendali pusat dalam hal ini adalah kementrian Kehutanan, yang tidak membenarkan adanya pemukiman di dalam kawasan hutan Negara, maka penduduk yang berada di 33.000 des tersebut rentan disebut sebagai penduduk illegal. Dengan status desa dan kependudukan yang demikian membuat masyarakat semakin sulit mengakses hak-hak sipil kewarganegaraanya termasuk hak memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas. Dengan alasan takut melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, Negara kemudian lepas tangan dan seolah-olah tidak bertanggung jawab terhadap persoalan pendidikan yang ada.
Keadaan semakin dipersulit ketika Negara memberikan hak penguasaan kawasan hutan di tempat 33.000 desa tersebut berada kepada investor di sector Kehutanan yang didominasi oleh pengetahuan global yang berorientasi pada kepentingan pasar. Perkembangan pengetahuan yang sangat cepat yang dibawa oleh pelaku usaha Kehutanan menimbulkan kegamangan yang luar biasa pada masyarakat yang tingkat pengetahuannya sangat minim. Sulitnya mengakses berbagai informasi dan keterbatasan pengetahuan terhadap isu-isu global semakin mengancam eksistensi dan masa depan warga rentan yang tinggal sekitar dan didalam kawasan hutan.
Ditengah-tengah situasi yang serba sulit dan tidak memberikan banyak pilihan, pendidikan alternative melalui sekolah-sekolah warga menjadi jawaban paling tepat bagi warga rentan saat ini. Pengembangan ruang-ruang pendidikan alternative berbasis pengetahuan dan kearifan local yang berorientasi pada perkembangan pengetahuan global menjadi pilihan utama yang mendesak harus segera dikembangkan.
Beberapa kelompok-kelompok kritis berbayung organisasi non kepemerintahan (NGO) sudah mulai menggagas dan mengembangkan model-model pendidikan alternative bagi warga rentan baik yang berada disekitar maupun di dalam kawasan hutan. Sebagai contoh SOKOLA telah mampu mengembangkan model pendidikan alternatif bersifat nonformal bagi anak Rimba, beberapa NGO telah membangun taman-baca dan perpustakaan sederhana di desa-desa dampingan, serta beberapa inisiatif-inisiatif lain yang bertujuan memberikan layanan akses pendidikan nonformal bagi warga rentan yang sulit mengakses pendidikan formal.
Sasaran dari model pendidikan alternatif tidak hanya anak-anak usia sekolah. Dengan model pembelajaran yang dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta waktu yang dimiliki oleh warga menjadikan model-model pendidikan alternatif lebih mudah diterima oleh warga. Model belajar yang tidak dikerangkeng oleh kurikulum baku sangat memungkinkan setiap peserta belajar berimajinasi, mengeksolorasi pengetahuan dan menggali berbagai informasi secara terbuka dan lepas.
Bagi warga rentan yang jarang sekali diperhatikan oleh program-program pemerintah, pendidikan alternatif menjadi plihan satu-satunya dalam upaya pengembangan pengetahuan dan proses pembelajaran secara mandiri serta menjadi salah satu jawaban atas persoalan yang mereka hadapi setiap hari.
Biodata Penulis:
Nama : Umi Syamsiatun
Asal Lembaga: Yayasan CAPPA
Alamat : Perumaham Barcelona Regency Blok. K No.17, Mayang, Kota Jambi
Kontak/Email : 085266079341 / umi@cappa.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar