GENERASI ANTIKORUPSI, MUNGKINKAH?
Oleh: Syaiful Bahri Lubis
Korupsi adalah sebuah kata yang sangat familiar di telinga bangsa Indonesia. Hampir setiap hari di media cetak ataupun media elektronik kita temukan kata ini. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008:597), disebutkan bahwa korupsi berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb.) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Berbicara masalah korupsi, saya jadi teringat sebuah buku yang pernah ditulis oleh almarhum Mochtar Lubis yang berjudul Manusia Indonesia. Dalam buku tersebut beliau mengutarakan bahwa salah satu ciri manusia Indonesia adalah senang korupsi atau menipu di samping banyak lagi ciri lain dari manusia Indonesia. Oleh
karena itu, sangat wajar kalau banyak orang mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah sangat membudaya. Korupsi bukanlah sesuatu yang aneh menurut pandangan bangsa Indonesia. Berita tentang koruptor sudah merupakan berita yang biasa-biasa saja bagi bangsa ini. Bahkan, kalau menurut saya, korupsi bukan saja sudah membudaya, melainkan sudah mendarah daging bagi setiap manusia Indonesia.
Sebenarnya, korupsi di Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Bukan saja sejak zaman kolonial, melainkan jauh sebelum itu korupsi sudah ada. Sejak zaman prakolonial pun korupsi sudah merasuki setiap jiwa bangsa ini.
Ada kisah menarik dalam sebuah naskah drama tradisional Melayu yang patut kita jadikan renungan tentang sejarah perjalanan korupsi di negeri ini. Naskah tersebut berjudul “Mengangkat Batang Terendam”. Pada awal tahun 90-an naskah ini pernah akan dipentaskan oleh salah satu kelompok teater dari Jakarta di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) Medan ketika rezim Soeharto masih berkuasa. Akan tetapi, naskah tersebut batal dipentaskan karena tidak mengantongi izin dari Kakansospol Sumatera Utara ketika itu. Sebenarnya, apa yang membuat pemerintah setempat gerah sehingga izin pentas tidak dikeluarkan? “Mengangkat Batang Terendam” berkisah tentang perilaku korupsi di sebuah negeri antah berantah yang diperintah oleh seorang raja. Mungkin karena berceritera tentang perilaku korupsilah sehingga pementasan tersebut tidak mendapatkan izin dari pihak yang berwenang.
Kisahnya bermula dari seorang raja yang ingin membuat sebuah hajatan pesta rakyat bagi seluruh warga kerajaan. Untuk itu, raja pun memerintahkan perdana menteri agar menyiapkan seekor kerbau yang akan dipotong untuk dimakan bersama dalam pesta rakyat tersebut. Perdana menteri menyanggupi permintaan itu. Kemudian perdana menteri memerintahkan lagi kepada hulubalang untuk menyediakan dua ekor kerbau yang akan dipotong untuk perhelatan pesta rakyat itu. Demikian pula hulubalang itu memerintahkan lagi kepada bawahannya agar menyediakan empat ekor kerbau yang akan dipotong untuk dimakan bersama pada pesta rakyat yang akan diselenggarakan kerajaan. Demikianlah seterusnya setiap perintah yang dibebankan oleh para petinggi kerajaan kepada bawahannya selalu.dikorupsikan dengan cara menambah jumlah kerbau yang akan disediakan. Akhirnya, sampailah perintah itu pada rakyat yang paling bawah. Ternyata, kerbau yang harus disediakan oleh rakyat kerajaan sudah puluhan jumlahnya. Karena terlalu banyak jumlah kerbau yang harus disiapkan oleh rakyat kerajaan, mereka merasa keberatan. Oleh karena itu, rakyat kerajaan yang dititahkan untuk menyediakan kerbau itu mengeluh kepada raja. Sang baginda raja pun amat terkejut mendengar laporan dari rakyatnya yang mengatakan bahwa mereka harus menyiapkan puluhan ekor kerbau untuk pesta rakyat di kerajaan. Sang raja pun marah karena sebenarnya yang diperintahkan kepada perdana menteri hanyalah mempersiapkan satu ekor kerbau untuk pesta rakyat di kerajaan. Akhirnya, sang baginda pun mengusut korupsi yang terjadi di kalangan petinggi kerajaan mulai dari perdana menteri sampai kepada rakyat jelata kerajaan.
Kisah drama tradisional Melayu, “Mengangkat Batang Terendam” tersebut memberikan bukti pada kita semua bahwa korupsi di negeri ini sudah ada dan membudaya sejak zaman dahulu. Oleh karena hal ini telah terjadi dari generasi ke generasi, pemberantasannya pun tidak mudah untuk dilakukan. Wajarlah korupsi di negeri ini sudah berurat berakar, bahkan sebagaimana disebutkan sebelumnnya sudah mendarah daging dan menjadi budaya yang tidak bisa lagi dikikis dan dihapuskan begitu saja. Mungkin dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melenyapkan korupsi dari bumi yang konon katanya gemah ripah loh jinawi ini. Bisa jadi dibutuhkan pergantian generasi terlebih dahulu agar korupsi bisa benar-benar dihapuskan dari negeri ini.
Berbagai cara sudah dilakukan untuk mencegah korupsi dari tanah air. Pada zaman kepemimpinan Presiden Abdurraman Wahid pernah ada wacana untuk menghapuskan korupsi bisa dilakukan dengan cara menambah kesejahteraan pegawai negeri. Oleh karena itulah, ketika itu gaji PNS dinaikkan dengan harapan kalau gaji sudah naik tentu semakin sejahtera. Logikanya kalau sudah sejahtera, tentu pegawai negeri tidak akan mau lagi korupsi. Tentu anggapan ini tidak selamanya benar. Karena seseorang melakukan tindakan korupsi bukan karena dia tidak sejahtera, melainkan karena mentalnya yang merupakan mental korupsi. Justru, sebenarnya yang bisa mencegah seseorang untuk berbuat tidak korupsi adalah imannya. Seberapa besar pun gaji seseorang, kalau imannya lemah, pasti dia akan tetap bertindak korupsi. Jadi, iman seseoranglah yang dapat mencegah dan membentengi dirinya untuk tidak korupsi.
Di era kepemimpinan SBY ini pun sudah dicoba untuk melakukan pencegahan korupsi dengan cara renumerasi gaji PNS, terutama di lingkungan departemen-departemen tertentu yang rawan melakukan tindak korupsi. Hal ini diterapkan karena becermin dari pengalaman megakorupsi yang dilakukan oleh pegawai kantor pajak, Gayus Tambunan. Dengan memberikan renumerasi pada pegawai di lingkungan Departemen Keuangan, diharapkan para pegawainya tidak akan tergoda untuk melakukan tindak korupsi. Akan tetapi, ternyata renumerasi tidaklah mampu mencegah seseorang untuk melakukan korupsi. Buktinya, setelah renumerasi diberlakukan pun, masih juga terjadi persekongkolan antara petugas pajak dengan para wajib pajak, terutama dari perusahaan yang jumlah pajaknya tergolong besar.
Saat ini berita yang gencar menghiasi media masa adalah kasus Hambalang, wisma atlet, dll. Kalau kita telaah lebih jauh, ternyata sebenarnya orang-orang yang terbelit kasus-kasus megakorupsi bukanlah orang-orang yang gaji atau penghasilannya tergolong kecil. Mereka yang gajinya sudah besar pun tetap saja masih mau melakukan tindak korupsi. Sebut saja mereka-mereka anggota dewan yang terlibat kasus-kasus korupsi besar tersebut. Mereka kan sudah digaji cukup besar. Apalagi para kepala daerah. Banyak juga yang terlibat korupsi. Padahal gaji kepala daerah sudah sangat besar. Akan tetapi, tetap saja mereka melakukan tindakan korupsi.
Berita gencar lainnya adalah belum disetujuinya oleh anggota dewan mengenai biaya pembangunan gedung KPK. Sebenarnya, apa alasan para anggota dewan untuk memberi tanda bintang pada anggaran pembangunan gedung KPK. Padahal, KPK sangat membutuhkan gedung yang layak agar bisa melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik. Kita malah jadi bertanya-tanya. Mengapa anggota dewan merasa keberatan untuk menyetujui anggaran pembangunan gedung tersebut. Rasanya seperti ada unsur kesengajaan. Seakan-akan para anggota dewan mencoba mengebiri tugas-tugas yang dilakukan KPK. Ada pula lagi wacana yang muncul untuk mengganti terminologi Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Komisi Pencegahan Korupsi. Ini merupakan salah satu upaya pengebirian akan tugas-tugas KPK. Padahal, kita tahu bahwa saat ini hanya KPK-lah yang bisa kita andalkan untuk memberantas korupsi. Sebab lembaga lain, seperti kejaksaan dan kepolisian saat ini masih dianggap mandul dan impoten. Jadi, masyarakat Indonesia masih menaruh harapan yang sangat besar kepada KPK karena saat ini hanya KPK-lah yang masih punya wibawa dan telah menunjukkan konduitenya. Akan tetapi, korupsi telah bersimaharajalela di tanah air dan telah berlangsung sejak lama sehingga tugas KPK seakan-akan tidak pernah selesai. Bahkan, kurang lebih sepuluh tahun KPK dibentuk, tetapi pemberantasan korupsi di negeri ini belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Hal ini disebabkan oleh jumlah kasus korupsi yang harus ditangani oleh KPK sangatlah banyak. Oleh sebab itulah, masyarakat sangat mendukung pembangunan gedung KPK. Bahkan, pedagang kaki lima pun sangat antusias memberikan bantuan dana. Mereka patungan mengumpulkan dana sebagai bentuk dukungan untuk KPK. Meskipun sebenarnya sehebat apa pun KPK, korupsi akan tetap muncul bagai cendawan di musim hujan kalau mental masyarakatnya tidak pernah diperbaiki. Kita sudah melihat berbagai hukuman yang telah diterapkan kepada para koruptor, tetapi koruptor-koruptor baru terus saja bermunculan entah sampai kapan berkesudahannya. Jangan-jangan sampai umur bumi ini berakhir.
Sebenarnya, menurut saya, cara yang paling tepat untuk mencegah tindak korupsi adalah dengan memberikan bekal iman yang kuat bagi seseorang. Hal ini beranjak dari pandangan bahwa agama apa pun di negeri ini, pasti tidak ada yang membenarkan tindak korupsi. Dengan iman yang kuat pada seseorang, tentu dia akan takut kepada Tuhannya bila ia berbuat korupsi. Dia tahu bahwa korupsi itu adalah dosa. Meskipun tidak ada pengawasan dari pihak mana pun, seseorang yang mempunyai iman yang kuat, tentu tidak akan mau berbuat korupsi karena dia tahu bahwa Tuhannya Maha Melihat, Maha Mengetahui. Iman yang kuat itulah yang akan mengerem dan mengubur segala keinginan untuk berbuat yang tidak baik. Bukan dengan gaji yang besar karena gaji yang besar pun belum mampu meredam semua itu.
Kita tahu bahwa setiap manusia mempunyai sifat yang tidak pernah puas terhadap sesuatu. Manusia selalu menginginkan yang lebih. Kelemahan manusia tidak mampu membatasi hawa nafsunya. Analoginya seperti ini, seandainya seseorang telah memiliki sebuah sepeda motor, dia mempunyai keinginan untuk membeli dua sepeda motor. Bahkan, seandainya telah memiliki beberapa sepeda motor pun, dia pasti mempunyai keinginan lagi untuk memiliki mobil. Begitu juga jika seseorang berkeinginan memiliki sebuah rumah, setelah keinginan itu bisa dicapainya, tentu dia masih menginginkan memiliki dua buah rumah. Demikianlah seterusnya dan tidak habis-habisnya. Nafsu manusia tidak mungkin bisa dibendungnya. Jadi, anggapan bahwa meningkatkan kesejahteraan seorang pegawai bisa mencegahnya dari perbuatan korupsi adalah suatu anggapan yang belum tentu benar. Sebaliknya, dengan memberikan ajaran iman yang kuat bagi seseorang, tentu bisa mencegahnya dari perbuatan korupsi. Betapa miskinnya pun seseorang kalau imannya kuat, dia tidak akan mungkin korupsi. Dengan iman yang kuat itulah, akan tercegah semua perbuatan yang tidak baik. Seseorang yang imannya kuat tidak akan pernah tergoda untuk mengambil uang yang ditemukannya di pinggir jalan meskipun jumlahnya banyak atau sedikit karena dia tahu bahwa hal itu adalah dosa. Dia juga tahu bahwa akan selalu ada yang melihat dan mengawasinya, yaitu Tuhan. Dia juga tahu bahwa meskipun dia tidak dihukum di dunia, di akhirat nanti dia pasti akan mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Pendidikan antikorupsi sangat penting bagi bangsa ini. Bagaimana cara dan metodenya? Tentu cara terbaik yang dapat dilakukan bangsa ini adalah dengan menanamkan nilai-nilai kejujuran itu adalah segala-galanya. Orang yang bersifat jujur pasti tidak akan mau melakukan tindak korupsi karena orang yang masih mau melakukan tidak korupsi bukan jujur namanya. Oleh karena itu, penanaman sifat-sifat jujur sejak kanak-kanak sangat dibutuhkan bagi generasi bangsa ini. Jujur pada diri sendiri itu sangat penting. Jujur karena kesadaran yang ada pada diri sendiri. Jujur karena takut pada Tuhan, bukan karena takut pada hukuman manusia. Kalau seseorang sudah terbiasa dengan sifat-sifat jujur, tentu dia tidak akan mau melakukan tindakan menipu, korupsi, berbohong, dll. Jadi, mendidik anak untuk berbuat jujur sejak dini adalah hal yang paling tepat untuk menciptakan generasi antikorupsi kelak. Sebagai contoh, kegiatan kantin kejujuran yang digalakkan di sekolah-sekolah merupakan salah satu pendidikan antikorupsi yang relevan saat ini sebagai media pembelajaran untuk jujur bagi generasi sekarang. Mereka diajari untuk berlaku jujur pada diri sendiri dan lingkungannya. Diharapkan dengan kebiasaan jujur menjadikan para generasi yang akan datang terbebas dari perilaku-perilaku yang koruptif. Bila pendidikan antikorupsi telah benar-benar mendarah daging bagi generasi mendatang, tentu mereka tidak akan mau melakukan tindak korupsi. Kalau seandainya generasi yang akan datang ini semuanya sudah antikorupsi, tentu terbentuklah sebuah generasi yang mempunyai karakter bersih, jujur, tangguh, tidak cengeng, tanpa korupsi dan perbuatan buruk lainnya. Jadi, pendidikan dan penanaman nilai-nilai kejujuran juga merupakan salah satu pendidikan yang berkarakter. Karakter dalam hal apa? Tentu generasi yang berkarakter dalam hal tanpa korupsi. Kalau hal ini yang akan terjadi, tentu dua puluh tahun yang akan datang, KPK tidak dibutuhkan lagi di negeri ini. Kita tidak perlu lagi susah-susah mencari saweran dari masyarakat untuk membangun gedung KPK. Untuk apa lagi membangun gedung KPK karena mereka tidak lagi mempunyai tugas. Tugas mereka sudah selesai sebab koruptor tidak ada lagi di negeri ini. Semoga saja generasi antikorupsi dapat terwujud di negeri yang kita cintai ini. Amin
Bimbingan Belajar Ganesha Operation
Jalan H. Abdul Manaf No. 59, Telanaipura, Jambi
Nomor Hp. 082177271271
Biodata Penulis
Nama : Syaiful Bahri Lubis
Tempat dan Tanggal Lahir : Salambue, 15 Desember 1970
Alamat : Jalan H. Abdul Manaf No. 59, Telanaipura, Jambi.
Pekerjaan : Guru di Bimbingan Belajar Ganesha Operation :
Nomor Telepon : 082177271271
Tidak ada komentar:
Posting Komentar