KETELADANAN DAN PEMBIASAAN SEBAGAI DUA PILAR
KUNCI KEBERHASILAN PENDIDIKAN KARAKTER
OLEH : FERRY, M.Pd.I
Kondisi masyarakat Indonesia yang akhir-akhir ini mengalami berbagai problem bangsa mulai dari tindakan kekerasan antara pendidik terhadap peserta didik, orang tua terhadap anak, majikan terhadap pembantu, suami terhadap isteri, perampokan, penculikan, pemerkosaan, aborsi, korupsi yang merajalela yang melibatkan kepala daerah, politikus, wakil rakyat yang ada di DPR, banyak bermunculan pungutan liar (pungli) merebak di dunia pendidikan saat didengung-dengungkannya pendidikan gratis, dan pelayanan kesehatan pun tidak maksimal bahkan ada yang meninggal karena keterlambatan penanganan akibat tidak adanya jaminan uang bagi pasien atau akibat buruknya birokrasi. Belum lagi tawuran yang melanda para generasi muda di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi bahkan yang lebih memalukan tawuran antara wakil rakyat yang tidak mencerminkan kedewasaan dalam berpikir. Begitu kompleksnya problem yang
terjadi di negara kita sehingga muncul suatu pemikiran untuk mengatasi semua itu dengan pendidikan karakter. Ahmad Syauqi Bey seorang ahli syair memperkokoh akhlak dan keutamaannya dalam pembangunan bangsa seperti terlukis dalam syairnya : “Hanya saja suatu bangsa itu berdiri tegak selama ia masih berakhlak namun jika akhlak mereka hilang maka bangsa itu pun lenyap pula”. (Ali Al-Jumbulati, 2002 : 121).
Munculnya ide pendidikan karakter di negara kita perlu kita sikapi dengan positif. Karena pendidikan karakter sangat dibutuhkan saat kondisi masyarakat kita begitu terpuruk seperti sekarang ini. Namun dalam pelaksanaannya perlu kita tinjau kembali bagaimana agar pendidikan karakter itu dapat berjalan dengan efektif dan berdampak terhadap perubahan perilaku masyarakat kita dari yang buruk menjadi baik. Sebagaimana diketahui dari hasil penelitian bahwa anak lebih banyak belajar lewat penglihatan (83 %), pendengaran (11 %), dan sisanya (6 %) adalah lewat peraba, pengecap dan pencium. (Muhaimin, 2003 : 115) Artinya lewat penglihatan secara langsung terhadap berbagai perilaku positif yang ditampilkan akan memberikan nilai pendidikan yang lebih baik dalam pemahaman maupun dalam bertindak. Oleh karena itu bila kita kaji kondisi yang dialami oleh bangsa Indonesia saat ini merupakan sedikit gambaran yang tak jauh berbeda dengan kondisi masyarakat Mekkah ketika Nabi Muhammad di utus ke muka bumi ini. Semua bentuk kejahatan yang terjadi di masyarakat kita hampir sama dengan yang dialami bangsa Arab di kota Mekkah saat itu. Mungkin yang membedakannya adalah kebobrokan bangsa Arab (Mekkah) saat itu dikarenakan belum adanya pengetahuan atau belum datangnya ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Jadi wajar bila mereka berbuat seperti itu. Namun yang terjadi di negara kita jelas berbeda walaupun tidak separah kondisi masyarakat Mekkah waktu itu, karena perbuatan yang dilakukan bukan karena ketidak-tahuan sebab jauh sebelum ini (zaman sekarang) pendidikan Islam telah diajarkan di berbagai tingkat satuan pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak hingga ke tingkat perguruan tinggi. Ulama di negara kita cukup banyak bahkan di televisi sering ditayangkan ceramah-ceramah agama. Tapi semuanya itu tampaknya tidak begitu efektif terhadap perubahan terhadap masyarakat kita. Mungkinkah belum adanya kesadaran dalam diri untuk berbuat kebaikan.
Bila demikian maka perlu kita kaji kembali bagaimana karakter yang dimiliki oleh Nabi Muhammad saw dalam membina masyarakat kota Mekkah saat itu. Beliau tidak hanya sekadar menyampaikan risalah kerasulannya namun juga disertai dengan perilaku yang menunjukkan keteladanan yang patut diikuti oleh umatnya. Bayangkan!, hanya dalam waktu 23 tahun beliau mampu membawa peradaban Islam di berbagai belahan dunia hanya dengan pemberian keteladanan kepada umatnya. Beliau mengajarkan kejujuran yang lebih dahulu beliau lakukan pada diri dan orang-orang sekitarnya sehingga beliau mendapat julukan al-Amien yang artinya orang yang dapat dipercaya dalam perbuatan dan perkataannya. Beliau mengajarkan kesantunan dan kasih sayang kepada orang lain yang terlebih dahulu beliau terapkan pada dirinya sendiri. Beliau mengajak berjihad dengan tampil paling depan sebagai pemimpin. Perbuatan buruk yang dilakukan orang lain selalu dibalas dengan kebaikan, perkataan kotor dibalas dengan kata-kata santun. Kekerasan dibalas dengan kelembutan sikap dan hati beliau. Beliau selalu mendoakan orang-orang yang berbuat zhalim padanya. Dengan keteladanan yang beliau tunjukkan maka dapat kita lihat keberhasilan yang telah dicapai Nabi Muhammad saw dalam membentuk karakter bangsa-bangsa Arab saat itu. Maka pantaslah bila Allah swt menetapkan Rasulullah sebagai referensi keteladanan umat manusia sebagaimana dalam firmannya surah Al-Ahzab (33) ayat 21 : “Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”
Maka perlu kita pikirkan dan pertimbangkan bagaimana pelaksanaan pendidikan karakter dapat berjalan dengan efektif dengan hasil yang maksimal dengan melibatkan semua pihak yang ada di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Semua pihak yang berperan aktif dalam pendidikan karakter haruslah menunjukkan keteladanan yang sempurna yang menjadi contoh bagi yang lainnya. Perbuatan dan perkataan haruslah mencerminkan apa yang diajarkan. Misalnya seorang guru di sekolah tidak perlu memakai sandiwara yang mengandung unsur kebohongan karena diminta bantuan oleh siswanya untuk membuat kejutan pada hari ulang tahun siswanya, seperti menuduh anak yang berulang tahun seakan-akan melakukan pencurian uang temannya. Perbuatan ini tidak mencerminkan sikap seorang pendidik. Dalam keluarga, tidak sepantasnya orang tua mengatakan kepada si anak, “Kalau nanti ada yang mencari ibu, bilang saja ibu tak ada di rumah”, (padahal si ibu sedang tidur di rumah).
Pendidikan karakter tentu sangat memerlukan guru (pendidik) yang berkarakter sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, baik bagi guru (pendidik) di tingkat Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) bahkan di Perguruan Tinggi. Guru yang berkarakter setidaknya memiliki 4 karakter atau sifat yang patut menjadi teladan bagi anak didiknya. Yang pertama, guru harus memiliki sifat rabbani yaitu sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan, seperti pengasih, penyayang, pemaaf, bijaksana, dan sebagainya. Dengan memiliki sifat rabbani, guru (pendidik) akan mengajarkan peserta didiknya dengan penuh kasih sayang sebagaiman Tuhan mengasihi seluruh makhluknya di alam dunia ini. Yang kedua, guru harus memiliki sifat ikhlas dalam mengajarkan sesuatu pengetahuan kepada peserta didiknya. Dengan keikhlasan yang dimiliki guru memudahkan bagi siswa menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Yang ketiga, guru (pendidik) harus memiliki sifat kesabaran dalam menangani berbagai permasalahan dalam pembelajaran ataupun yang dialami oleh siswanya. Kesabaran sangat berperan besar dalam membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. Bagi guru yang tidak memiliki sifat sabar akan membiarkan siswanya ketika mereka sangat membutuhkan pertolongan dari gurunya namun sebaliknya guru yang memiliki sifat sabar akan terus menerus membimbing siswanya belajar dan membantu mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi siswanya. Yang keempat, guru harus memiliki sifat kejujuran ketika berkata kepada siswanya, karena guru yang jujur akan disenangi oleh siswanya. Dengan rasa senang yang didapat siswa dari gurunya akan menambah motivasi mereka untuk meniru perilaku guru tersebut. Sehingga apa yang dikatakan oleh guru akan selalu diingat oleh siswanya sampai kapanpun. Ada pepatah mengatakan “Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana”. Maksudnya orang yang jujur akan mudah diterima orang dimanapun ia berada.
Adanya sebagian kabar tentang kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN) hingga berujung pada deklarasi seluruh kepala sekolah dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai tingkat atas (SMA) untuk mewujudkan UN bersih menunjukkan bahwa masih banyaknya guru-guru yang belum menerapkan kejujuran pada dirinya sendiri. Bantuan kunci jawaban yang diberikan guru pada siswanya menggolongkan dirinya sebagai guru “sesat” dan ini bagi yang melakukannya adalah seburuk-buruknya guru yang ada di Indonesia. Guru seperti ini perlu diberikan sanksi karena telah membuat sebagian orang telah hilang kepercayaan terhadap guru. Bila hal tersebut terus dibiarkan maka bisa jadi keteladanan dari guru akan bias dengan sendirinya. Padahal dunia pendidikan yang dalam hal ini guru sebagai peran utamanya merupakan pusat perubahan (agent of change) siswa dari semua perilaku negatif menjadi perilaku yang positif. Selama persoalan keteladanan ini tidak menjadi prioritas maka selama itu juga pendidikan karakter tidak akan berhasil. Maka kuncinya adalah keteladanan dari masing-masing pihak yang berperan penting dalam dunia pendidikan.
Kemudian selain keteladanan dari guru (pendidik), juga diperlukan pembiasaan melakukan perbuatan tersebut (karakter) secara terus menerus. Sebagaimana dikatakan John Dewey bahwa pendidikan moral (karakter) itu terbentuk dari proses pendidikan dalam kehidupan dan kegiatan yang dilakukan oleh murid secara terus menerus selain itu John Dewey berpendapat bahwa akhlak (moralitas) hanya dapat diajarkan dengan cara membiasakan dengan perbuatan praktis. Pembiasaan dalam pendidikan karakter sangat diperlukan karena karakter yang akan dibentuk belum tentu telah ada dalam diri peserta didik. Oleh karena itu perlu latihan dalam melakukannya secara terus menerus sehingga kebiasaan itu akan mendarah daging dalam diri peserta didik. Untuk mengetahui bahwa suatu perbuatan sudah menjadi karakter dalam diri peserta didik, menurut Abuddin Nata ada lima indikator. Pertama, perbuatan tersebut telah menyatu dalam sistem kehidupan dan telah mendarah daging ; maksudnya kepatuhannya terhadap semua guru adalah sama; Kedua, dilakukan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan, karena perbuatan tersebut telah menjadi kebiasaannya; Ketiga perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan dan pilihan sendiri bukan karena paksaan atau rekayasa orang lain. Keempat perbuatan tersebut dilakukan dengan cara yang sebenarnya, bukan sandiwara atau dibuat-buat; Kelima perbuatan tersebut dilakukan ikhlas semata-mata karena Allah, (Nata, 1997 : 13). Jadi dapat disimpulkan bahwa keteladanan dan pembiasaan merupakan dua pilar yang mendukung terhadap keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah.
REFERENSI :
Depag RI, 2006. Al-Qur’an dan Terjemahannya (edisi revisi terbaru Departemen Agama RI). Karya Agung, Surabaya
Muhaimin. 2003. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam : Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, hingga Redefenisi Islamisasi Pengetahuan. Nuansa, Bandung.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 1997
IDENTITAS PENULIS
NAMA : FERRY, M.Pd.I
RIWAYAT PENDIDIKAN
a. SDN 464 Palembang
b. SMPN 42 Palembang
c. MA Pondok Pesantren Ummul Quro Pamekasan Madura Jawa Timur
d. S.1 IAIN Raden Fatah Palembang Jurusan PAI
e. S.2 IAIN Raden Fatah Palembang Jurusan Metodologi Pendidikan Islam
NAMA SEKOLAH : SMPN 8 KOTA JAMBI
ALAMAT SEKOLAH : JL. SUNAN GIRI, SIMP.3 SIPIN KOTABARU JAMBI
NO. HP : 081532755120 / 081271201562
Tolong Konfirmasi kalau sudah diterima Opini ini oleh Panitia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar