Selamat Datang! Di Cafebahasa dan Opini-Bambang Setiawan-Blog Informasi dan Kumpulan Opini-Jangan lupa isikan Komentar Anda demi perbaikan ke depan-Kirim artikel anda untuk diposting-bbg_cla@yahoo.com

Kamis, 05 Juli 2012

Karakter Kuat Generasi Bermanfaat

 KARAKTER KUAT GENERASI BERMANFAAT
Oleh: Tommy Harry Pandiangan

Seringkali kasus yang paling laten saya hadapi saat mendampingi siswa belajar adalah; jika saya ajukan sebuah pertanyaan untuk menguji sebatas mana penguasaan materi mereka, maka sebagian besar dari siswa-siswa tersebut akan berfikir keras hanya untuk mengingat susunan huruf, titik, koma yang sepersis-persisnya dengan yang ada  di buku pelajaran.
Dan ketika saya pindahkan aplikasi jawaban tersebut kepada bentuk persoalan yang lain, maka mereka pun tidak mengetahui bagaimana mengaplikasikan jawabannya tadi, padahal sebenarnya sederhana saja asalkan mereka mengetahui hakikat konsepnya. Nah!

Atau dalam contoh kasus lain, anak-anak juga begitu “takut” mengisikan soal-soal di LKS atau tugas-tugas pekerjaan rumahnya dengan jawaban yang dirasa amat berbeda dengan yang tertulis pada buku paket. Seperti dalam benak mereka redaksi pada buku paket itu adalah pakem yang harus diikuti agar mendapat nilai benar.
Tentu persoalan ini tidak hanya berhenti di sini. Yaitu dengan imbasnya kepada hal-hal lain yang tak kalah berbahayanya, seperti sikap kritis yang amat dibutuhkan sebagai modal pembentuk kepribadian siswa agar lebih kreatif. Lalu apa jadinya nasib generasi bangsa ke depan jika SDM-nya hanya menurut dan tidak berani berfikir dan bertindak kreatif?
Maka, sebuah benang merah yang dapat saya tarik dari permasalahan ini adalah betapa lemahnya inisiatif atau motivasi intrinsik yang mereka miliki dikarenakan tidak mengetahui hakikat dan alasan mengapa ia melakukan sesuatu hal (dalam hal ini mengikuti pelajaran) sehingga mereka cenderung berfikir pasif.
Dan seperti yang kita ketahui bahwa salah satu pemicu lahirnya motivasi intrinsik - meminjam istilah dalam Quantum Learning Bobbi De Porter disebut sebagai; AMBAK (apa manfaatnya bagiku). Di mana AMBAK ini berperan menumbuhkan pertanyaan mendasar pada diri siswa ketika akan mempelajari sesuatu mengenai manfaat apa yang akan ia peroleh. Untuk kemudian pola pikir tersebut menjadi sebuah kebiasaan baik/ good habbit yang membuat siswa senantiasa menggali lebih dalam dengan sendirinya apa saja konten-konten yang bermanfaat dari apa yang ia pelajari.
Namun, seperti yang sudah kita maklumi bahwasannya betapa sekolah pun memang tidak memberikan kesempatan yang leluasa kepada siswa untuk mengembangkan budaya kritis.  Di mana siswa tidak dibiasakan untuk melakukan penelititan atau kritik terhadap materi.
Siswa cenderung harus “manut” terhadap apa saja yang harus mereka terima, tanpa mengetahui apakah maslahat yang dikandung materi/pemberian tersebut terhadap masa depan mereka khususnya kemampuan mereka memecahkan persoalan.
Jika A yang diberikan guru, maka A pula yang harus ditelan oleh siswa, kadang-kadang dengan otoritasnya sebagai pengajar, beberapa guru akan memberikan hukuman kepada mereka yang tidak patuh terhadap azas pengajaran yang seperti ini. atau juga yang tak kalah parah, anak yang kritis cenderung dianggap aneh/ asing dan mendapatkan ejekan dari teman-teman sekelasnya.
Pun, tak kalah dengan kurikulum yang memang amat mengesampingkan budaya kritis atau bernalar, yang tampak dari porsi pelajaran yang begitu banyak urusan hafal-menghafal. Sehingga Iwan Pranoto, seorang Guru Besar ITB mengatakan bahwasannya anak-anak kita telah ditunjukkan arah belajar kecakapan yang salah. Analoginya, anak-anak kita seperti dibekali kompas yang rusak untuk berpetualang. Mereka dibuat fokus mengejar kecakapan kadaluawarsa, seperti kognitif rutin itu. sebaliknya anak-anak kita sangat jarang diberi kesempatan mengembangkan kecakapan abad ke-21, seperti bernalar tingkat tinggi”.
Ya, bernalar tingkat tinggi. Kenapa harus bernalar tingkat tinggi. Sebab, kata Iwan Pranoto lagi “masalah penyimpanan dan sistem pencarian informasi sudah dipecahkan oleh Google. Sungguh absurd jika pelajar justru difokuskan mengejar kecakapan yang sudah dapat dikerjakan mesin”
Lalu, apa yang dapat kita perbuat atas persoalan ini? Dalam tulisan kecil ini saya akui bahwasannya saya tidak bisa memberikan pil manjur yang dapat membereskan persoalan ini secara serta merta dan tuntas. Sebab pendidikan, berikut elemen-elemen yang ada di dalamnya adalah sesuatu yang sangat kompleks, seperti juga hakikat diri manusia sebagai pelakunya. Maka setidaknya saya mencermati salah satu bagian yang amat penting saja yaitu pembangunan karakter.
Menurut Prof Suyanto Ph.D, karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan akibat dari keputusan yang ia buat.
Dalam hal ini saya mengembalikan lagi pada persoalan yang saya gambarkan di atas bahwa betapa pentingnya karakter sebagai pondasi anak dalam menentukan tujuan yang harus ia tempuh demi kebaikannya di masa sekarang dan yang akan datang.
Lalu kenapa harus karakter? Tentu, sebab sangat jelas perbedaan antara anak yang memiliki karakter dibanding anak yang tidak memiliki karakter yang kuat. Dimana anak yang memiliki karakter cenderung lebih memahami pilihannya, berikut manfaat, resiko dan hal-hal apa saja yang harus ia tempuh dalam mencapai tujuannya. Sebab ia memiliki minat atau passion yang lebih baik terhadap bidang yang ia geluti. Serta memahami aplikasi yang tepat kepada lingkungan dan masyarakat sampai pada lingkup yang paling luas sekalipun. Dan relevansinya kepada konsep AMBAK tadi sejalan, bukan?!
Contoh nyata hal ini seringkali saya lihat pada lembaga pendidikan alternatif, seperti sekolah alam di mana kegiatan-kegiatan seperti mengorganisir kelompok (kepemimpinan), berempati, beradaptasi mendapat perhatian lebih. Sehingga kemampuan siswa dalam bertindak sebagai mahkluk sosial yang sesungguhnya akan lebih terbangun, seperti apa yang dikatakan Daniel Goleman bahwasannya keberhasilan seseorang di masyarakat dipengaruhi 80% oleh kecerdasan emosi dan 20% oleh IQ atau kecerdasan otak (IQ).
Karena pendidikan karakter juga adalah pendidikan budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action) yang lebih menyeluruh maka keberhasilan siswa yang nantinya bakal menjadi bagian dari masyarakat akan lebih dapat menyumbangkan manfaatnya. Baik dalam kapasitas kecerdasan emosi maupun keilmuannya.
Maka, sekali lagi dengan penerapan dan penguatan karakter pada diri siswa-siswa, kita tidak akan melihat lagi istilah “salah jurusan” atau salah memilih kegiatan, minat, pencarian akan ilmu yang ia butuhkan pada anak berkarakter, sebab dirinya memahami secara utuh kapasitas diri, serta tujuan yang ia tempuh.
Dan sebagai penutup, bolehlah saya kutipkan sedikit kata-kata dari Dr. Martin Luther King; Intelegence plus character, that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar