Selamat Datang! Di Cafebahasa dan Opini-Bambang Setiawan-Blog Informasi dan Kumpulan Opini-Jangan lupa isikan Komentar Anda demi perbaikan ke depan-Kirim artikel anda untuk diposting-bbg_cla@yahoo.com

Kamis, 05 Juli 2012

Membentuk Karakter Anti Korupsi

MEMBENTUK KARAKTER ANTI KORUPSI SEJAK USIA SEKOLAH DASAR
Oleh: Romualdus Kaju S.Fil*

Hasil Ujian Nasional Tahun 2012 ini menimbulkan sesuatu yang menyesakkan bagi warga sebuah Sekolah Dasar Swasta di Kota Jambi ini. Salah seorang siswanya yang setiap hari mendapat nilai terendah, tiba-tiba menjadi juara 1, mengalahkan teman-temannya yang sudah terkenal pintar. Nilai rata-ratanya tertinggi di seluruh sekolah dan bahkan untuk pelajaran Matematika ia mendapat nilai sempurna 10,00. Sekejap, Kepala Sekolah dan para guru menjadi galau. Timbul pertanyaan, apakah siswa ini memang mengalami mukjizat pintar dalam sekejap, ataukah ada simpul-simpul sistem yang jebol oleh sikap kolusi, korupsi dan ketidakjujuran?

Mulailah muncul saling mencurigai. Siapa yang bermain? Siapa yang membayar siapa? Apa maksud dan tujuan di balik peristiwa melonjaknya nilai anak ini? Tanpa bermaksud memvonis peristiwa ini sebagai sudah pasti ada KKN, karena bisa jadi memang ada keajaiban, tampak di sini bahwa korupsi seperti bau kentut. Ada efek/akibatnya yaitu bau busuk tetapi tidak dapat dipastikan dari mana sumbernya, kecuali kalau pelakunya mau jujur.
Peristiwa di atas diangkat sebagai contoh hanya untuk menunjukkan bahwa korupsi sekarang sudah merasuk dan merusak sendi-sendi pokok kehidupan berbangsa. Merasuk karena, setiap lapisan masyarakat termasuk siswa SD telah sangat mudah masuk ke dalam perangkap tindakan korupsi dan kolusi. Perilaku koruptif sekecil apapun sudah merusak keseimbangan konsep moralitas anak. Tindakan yang salah jika dilakukan berulang-ulang akan dianggap sebagai contoh yang baik oleh orang yang belum mengenal kebenaran dengan sesungguhnya. Apalagi jika yang melakukannya adalah orang yang diaanggap memiliki otoritas oleh anak.
Merusak karena jika seorang siswa SD menerima hadiah nilai yang sebenarnya tidak sesuai dengan kemampuannya ia mulai belajar bahwa tanpa berusaha keras, bekerja keras, memiliki etos kerja tinggi, ia dapat menuai hasil yang memuaskan. Ia dapat saja merasa bahwa keajaiban, mukjizat dapat saja menaunginya di kala ia mengalami kebuntuan atau situasi terjepit.
Film “Badil dan Blangkon Ajaib” dengan sebagian pelaku anak-anak yang ditayangkan di SCTV hampir setiap malam sekitar Pkl 21.00-22.00 menjadi contoh terkini dari mentalitas ‘memimpikan keajaiban.”  Badil dan rekannya Sakura memang anak-anak yang mau mempertahankan  moralitas. Mereka harus berhadapan dengan Pak Lurah Eeng, istri dan anak serta pengikut-pengikutnya yang serakah, loba dan menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekayaan pribadi. Sayangnya Badil dan kawan-kawannya tampil juga sebagai anak yang memiliki alat, blangkon ajaib untuk mengalahkan lawan-lawan jahatnya.
Alat blangkon ajaib inilah yang bisa kapan saja diperalat untuk memenuhi keinginan Badil dan kawan-kawannya. Dalam situasi terjepit blangkon bisa memaksa Lurah Eeng mengakui kelemahannya di hadapan warga. Contohnya, dalam salah satu episode, Lurah Eeng disulap oleh blangkon menjadi seekor ayam jago. Ayam jago ini terus saja berkotek, lalu disuruh bertelur. Bu Lurah yang serakah senang karena telur dari ayam jago jelmaan suaminya itu bisa dijual untuk menambah ongkosnya pergi ke salon.
Sekilas cerita seperti ini memuaskan dahaga pemirsa terlebih ketika mereka nyatanya  tidak lagi berdaya menghadapi ‘lurah-lurah’ yang serakah di zaman sekarang. Ada sarana khatarsis memang, namun yang bertolak belakang dari kenyataan adalah gambaran bahwa  sebuah kebaikan pasti didapatkan oleh orang-orang yang menginginkannya. Padahal sebenarnya, orang-orang baik sekalipun harus berjuang keras, berusaha selalu bahkan banyak berkorban untuk mempertahankan apa yang ia anggap baik dan benar itu. Tidak ada keajaiban terus-menerus dalam kehidupan nyata, keajaiban itu hanyalah urusan Tuhan.
Yang lebih penting bagi generasi ini adalah menanamkan etos kerja sejak usia anak-anak. Tumbuhnya etos kerja sejak usia dini menjadi modal dasar bagi terbentuknya karakter anti korupsi. Sementara semangat mengharapkan keajaiban dalam hidup bisa menjadi lahan subur bagi tumbuhnya gaya hidup menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan termasuk lewat korupsi. Tentang karakter anti korupsi ini selain sangat urgen, juga sangat tepat ditanamkan sejak usia Sekolah Dasar.
Teori Kohlberg dan Fakta Korupsi
Ada dua alasan pokok yang dapat menjawab pertanyaan mengapa pendidikan anti korupsi layak ditanamkan sejak Sekolah Dasar. Pertama alasan psikologis teoritis dan kedua alasan faktual. Dasar psikologis dapat diteropong menggunakan teori perkembangan moral manusia yang ditelurkan oleh Psikolog Lawrence Kohlberg.
Ia membagi perkembangan moral atas tiga tingkatan perkembangan yaitu pra konvensional, konvensional dan pasca konvensional. Dalam tahap pra konvensional, yang umumnya berlaku pada anak-anak, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Ia juga melihat moralitas dari sisi manfaat apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran moral tahap ini belum menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri.
Selanjutnya, tahap konvensional yang umumnya ada pada pada seorang remaja atau orang dewasa. Manusia di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Sesuatu yang dianggap oleh banyak orang sebagai kebenaran akan ia anggap juga sebagai hal yang benar.Di sini  individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut.
Yang ketiga, tahap pasca konvensional dikenal sebagai tingkat berprinsip atau tingkat karakter. Di tahap ini, nilai-nilai moral dipegang sebgai sesuatu prinsip pribadi atau karakter diri. Suatu tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.
Kolberg sendiri yakin bahwa tahapan-tahapan perkembangan moral ini ada, namun ia sendiri sulit menemukan fakta bahwa ada orang yang  berkembang secara konsisten menurut tahap-tahap perkembangan tersebut. Teori ini jika diverifikasi secara sekilas menunjukkan aspek kebenaran. Sebab moralitas itu bukanlah suatu yang otomatis terjadi. Moralitas berkembang, dibentuk, ditanamkan, diajarkan, diperjuangkan dan dipertahankan. Bahkan batasan moral antara suku bangsa tertentu dengan suku bangsa lainnya bisa saja berbeda. Contohnya ada bangsa-bangsa Eropa yang memperbolehkan penikahan homoseksual sedangkan Bangsa Indonesia tidak memperkenankannya.
Alasan logis teoritis yang dikemukakan oleh mewajibkan kita khususnya kalangan pendidikan untuk menumbuhkan karakter anti korupsi dalam diri peserta didik khususnya usia SD terlihat dari teori Kohlberg di atas. Seperti digambarkan Kohlber pada tahap pra konvensional seorang anak mengenal moralitas dari hukuman dan pujian. Jika ia ditegur, dikoreksi atau dihukum atas suatu tindakan, ia akan menanamkan itu sebagai hal yang salah. Sebaliknya, jika suatu sikap, atau tindakan mendulang pujian, dukungan atau penguatan ia akan melihat itu sebagai hal yang benar. Berkenaan dengan itu, sikap anti korupsi dapat ditekankan guru secara verbal dalam pembelajaran, juga dengan contoh hidup yang mengutamakan kejujuran dalam proses pendidikan.
Lebih jauh, berkaca pada teori Kohlberg, ussia Sekolah Dasar bisa dikategorikan ada pada tahap pra konvensional sampai tahap konvensional. Pada dua tahap ini anak-anak masih dalam proses pembentukan. Mereka belum memiliki nilai pribadi dan moralitas belum menjadi karakter yang stabil. Karenanya, pada tahap ini proses pendidikan karakter perlu untuk mengarahkan dan membentuk mental anak menjadi baik, khususnya dalam hal mentalist anti korupsi.
Selain masalah logis teoritis, ada pula alasan lain yang lebih mendesak yaitu fakta bahwa korupsi telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, kehidupan bermasayarakat termasuk kehidupan umat beragama. Ingat kasus dugaan korupsi pengadaan Alquran di Departemen Agama yang saat ini sedang diusut oleh tim KPK. Berdasarkan sumber Litbang Kompas, 158 kepala daerah tersangkut korupsi sepanjang 2004-2011, 42 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011, 30 anggota DPR periode 1999-2004 terlibat kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.Selain itu, k asus korupsi terjadi di berbagai lembaga seperti KPU, KY, KPPU, Ditjen Pajak, BI, BKPM dan beberapa Pemerintah Daerah.
Merebaknya korupsi menyisakkan pertanyaan tentang kapan dan bagaimana cara agar rentetannya dapat terhenti. Benar bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi. maupun pemerintah mulai mengedepankan isu pendidikan karakter untuk pemulihan kondisi kronis ini. Karakter yang dimaksud di sini adalah karakter anti korupsi. Sosialisasi dilakukan ke semua kalangan lapisan masyarakat karena tujuan gerakan ini sebenarnya untuk membentuk karakter bangsa di masa depan.
Salah satu contohnya adalah dengan memasukkan Pendidikan Anti Korupsi ke kurikulum pendidikan formal. Misalnya, modul Pendidikan Nilai-nilai Anti Korupsi terbitan KPK khusus untuk kelas VI SD mengedepankan sikap simplicity, kesederhanaan,. kejujuran, daya juang dan kegigihan. Diandaikan bahwa jika seorang anak  bangsa  menghayati hidup sederhana, apa adanya, ia tentu tidak akan mudah terpengar ia tenpengaruh oleh roh hedonisme dan keserakahan. Sebab kita memang melihat, koruptor menilep uang negara bahkan ada dengan nominal triliunann rupiah, nilai yang jauh di atas kebutuhan manusiawinya, keluarga maupun keturunannya. Dengan memegang teguh kejujuran, orang menempatkan harga dirinya di atas nominal Rupiah atau Dollar. Daya juang dan kegigihan menjadi dasar untuk mendorong orang untuk terus berusaha mencapai kesuksesan, bukannya mengaharapkan keajaiban tiba-tiba. Di sinilah letak pentingnya proses pembentukan watak atau pendidikan karakter.
Membentuk Karakter Anti Korupsi
Karakter, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani “karasso”, berarti ‘cetak biru’, ‘format dasar’, ‘sidik’ seperti misalnya dalam sidik jari. Dalam artian etimologis ini tampak bahwa dari sononya memang karakter berarti format dasar atau sidik jari yang melekat erat pada kepribadian seseorang dan menjadi ciri tampilan orang itu. Selanjutnya, Mounier, mengajukan dua cara interpretasi tentang yaitu kondisi alamiah bawaan seseorang, yang terpaksa harus diterima dan dijalani, atau sesuatu nilai turun-temurun bahkan diwarisi secara genetik.Interpretasi lainnya,  karakter itu ada karena proses yang dikehendaki dan diupayakan.
Masalah asal-usul karakter ini sebenarnya tidak perlu diperdebatkan karena manusia selalu  mengawinkan faktor genetik bawaan dengan faktor pengaruh lingkungan sosial.
Manusia sendiri sebenarnya juga memiliki kebebasan mutlak dari Tuhan untuk memilih apa yang baik atau kurang baik bagi dirinya.
Ratih Ibrahim, Presiden Direktur dan Pendiri Personal Growth menjelaskan karakter sebagai ciri spesifik dari sikap dan perilaku seseorang, yang nanti manifestasi keluarnya menjadikan pribadi tersebut secara signifikan tampak berbeda dari orang lain. Ratih menekankan karakter sebagai sikap, tampilan dan tata nilai pribadi. Karakter itu tampak dan terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat. Maka menurutnya, perlu sarana atau media yang membuat seseorang itu berproses membentuk kepribadian yang menonjol, kuat dan bagus. Sarana atau media itulah yang disebut pendidikan karakter.
Bagi kita Bangsa Indonesia pendidikan karakter anti korupsi harus merupakan usaha sungguh-sungguh, sistematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik jika korupsi masih menggerogoti sendi-sendi kehidupan kita. Lembaga-lembaga pendidikan harusnya digerakkan untuk menjadi zona utama sikap anti korupsi. Lembaga pendidikan terlebih pendidikan dasar harusnya menjadi tempat yang nyaman dan jauh dari aroma korupsi sehingga anak-anak mulai merasa bahwa korupsi memang tidap pantas, merugikandan menghancurkan bangsa.

Dengan demikian peran lembaga pendidikan itu  tidak hanya menjadi tempat untuk mentransfer ilmu saja, namun lebih jauh dan pengertian itu yang lebih utama adalah dapat mengubah atau membentuk karakter dan watak seseorang agar menjadi lebih baik, lebih sopan dalam tataran etika khususnya dalam kepentingan bangsa saat ini, menjadi manusia anti korupsi.
Salah satu ciri karakter yang penting untuk membentuk manusia anti korupsi adalah kemandirian personal. Kemandirian ini berkaitan dengan kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri, mengurusi diri sendiri, memilikii harga diri tinggi yang tidak dapat ditukar dengan uang, tetapi tetap dalam konteks relasi harmonis dengan orang lain. Kemandirian itu membutuhkan proses transformasi karena remaja dan anak-anak memang masih bergantung dari orang tuanya.
Dalam proses transformasi itu, pribadi khususnya anak-anak perlu dibimbing untuk mengalami bahwa menjadi diri sendiri, memiliki harga diri lebih mulia dan bermakna daripada mengandalkan orang lain terlebih dengan cara-cara menghina martabat diri kita seperti melalui korupsi.
Karakter kemandirian dapat mulai dilatih di Sekolah Dasar dengan cara-cara sederhana tetapi konsisten. Jelas bahwa sekolah yang memastikan kejujuran dalam proses Ujian Nasional dan ujian-ujian lainnya merupakan sekolah contoh bagi pendidikan anti korupsi ini. Sebaliknya sekolah yang tidak mementingkan kejujuran dan kemandirian siswa dalam proses ujian apapun merupakan tempat bagi tumbuh suburnya koruptor-koruptor muda.
Memperbaiki bangsa mulailah dari rumah dan sekolah. Menanam benih karakter anti korupsi mulai dari kemandirian dan kejujuran.

*Penulis adalah Guru SD Xaverius I Jambi

Nama Penulis : Romualdus Kaju, S. Fil
Sekolah : SD Xaverius I Jambi
Alamat Sekolah : Jl. Putri Pinang Masak No. 19 Jambi
No. HP : 085357985804
Email : alduskaju@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar