Selamat Datang! Di Cafebahasa dan Opini-Bambang Setiawan-Blog Informasi dan Kumpulan Opini-Jangan lupa isikan Komentar Anda demi perbaikan ke depan-Kirim artikel anda untuk diposting-bbg_cla@yahoo.com

Kamis, 05 Juli 2012

Garudaku Terbang Terseok-Seok

GARUDAKU TERBANG TERSEOK – SEOK
OLEH: RINI EKO SUMARWANTI, SP.d
   
    Historia Magistra Vitae  ( Sejarah adalah guru kehidupan ). Pepatah Latin tersebut diatas amat tepat untuk setiap manusia yang berusaha berbuat bijak. Pelajaran dan pengajaran tidak harus didapat oleh diri sendiri tetapi bisa melalui orang lain, tidak harus masa kini tetapi bisa pada masa lalu.
    Sejarah mencatat, di Indonesia pernah berdiri Kerajaan Kalingga (Holing) yang terkenal akan kejujurannya sampai ke Mancanegara. Catatan pengelana Cina dari Dinasti Tang menyebutkan, bahwa Kerajaan Holing diperintah oleh seorang Ratu yang bernama Sima. Pemerintahan berjalan amat tertib. Hukum dijalankan dengan tegas tanpa pandang bulu. Rakyat Kalingga (Holing) amat jujur. Barang  yang terjatuh dimanapun meski di tengah pasar, tidak akan hilang, walaupun barang itu telah berhari-hari. Hal ini
membuat pengelana Cina  merasa heran, dan berusaha mengetes kejujuran rakyat Kalingga dengan menjatuhkan pundi-pundi emasnya di tengah pasar. Meskipun berhari-hari, pundi-pundi emas itu tetap utuh tanpa ada seorangpun berusaha untuk mengambilnya. Hingga pada suatu  ketika, seorang putera mahkota Kalingga berjalan di pasar dan tanpa sengaja menginjak pundi-pundi emas tersebut. Ketika hal itu dilaporkan kepada Ratu Sima, putera mahkota tersebut diadili di balairung istana dan dijatuhi hukuman mati. Para menteri berlutut memintakan ampun untuk putera mahkota dan meminta Ratu Sima membatalkan titahnya untuk menghukum mati putera mahkota. Putera mahkota dianggap tidak bersalah karena menginjak pundi-pundi tersebut dengan “ tidak sengaja “. Melalui perenungan yang dalam,  hukuman tetap harus dijalankan, meskipun bukan hukuman mati, “ kaki yang bersalah tetap harus dipotong “. Sungguh penegakan hukum yang fantastis, karena Ratu Sima harus berbuat tega dengan  menghukum potong kaki sang putera mahkota, anak kandung yang dicintainya.
    Dalam mitologi Yunani terdapat Dewi Keadilan (Dewi Justitia), yang digambarkan dengan mata ditutup kain hitam. Tangan kiri membawa neraca dan tangan kanan membawa pedang. Perwujudan Dewi Justitia tersebut melambangkan bahwa hukum itu tidak bermata (tidak pandang bulu). Anak sendiripun kalau terbukti bersalah akan diadili. Ditimbang dengan neraca keadilan dan dijatuhi hukuman dengan pedang keadilan.
    Tindakan dari Ratu Sima untuk penegakan hukum di Kalingga berjalan dengan semestinya. Hukum dijalankan dengan konsekuen. Akibatnya sungguh manis, pemerintahan Ratu Sima berjalan dengan tertib dan teratur. Para musafir asing banyak melakukan aktivitasnya di Kalingga dengan rasa aman. Perekonomian masyarakat  menjadi maju. Kalingga banyak mengirimkan utusan sampai ke negeri Cina.
    Lain dulu lain sekarang, ketika Indonesia diproklamasikan 17 Agustus 1945 yang lalu. Para founding fathers telah mencita-citakan kemakmuran rakyat Indonesia. Cita-cita tersebut tergambar dalam 5 butir Sila dalam Pancasila, yang berbunyi : 1)Ketuhanan Yang Maha Esa, 2)Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, 3)persatuan Indonesia, 4)Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat  Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, 5)Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
    Setiap anak sekolah dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan SMA/K hapal isi sila-sila dalam Pancasila tersebut karena setiap upacara bendera pada hari senin selalu dibacakan oleh Pembina upacara. Tetapi ironisnya, begitu mereka menginjak bangku kuliah, dimana upacara hampir tidak pernah dilaksanakan lagi, secara acak ditanyakan isi sila tertentu pada pancasila, mereka akan belepotan menjawabnya. Meskipun itu belum ada survey resmi, tetap saja tingkah polah generasi penerus yang ditayangkan salah satu siaran televisi swasta tersebut membuat hati penulis menjadi miris.
    Sila-sila pada  Pancasila diletakkan dalam dada burung Garuda yang mempunyai makna agar terpatri didalam dada setiap manusia Indonesia. Bukan dihapalkan tetapi diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat menjadi roh yang memberi tindakan luhur  pada setiap watak manusia Indonesia. Cita-cita itu amat ideal, tetapi berbanding terbalik dengan prakteknya. Para pejabat publik yang seharusnya menjadi panutan dalam penanaman nilai tersebut banyak menjadi tontonan karena tindakan yang tidak sesuai roh Pancasila,  menyeleweng dari tuntunan nilai luhur Pancasila, membohongi hati nurani dan rakyat dengan melakukan tindakan tidak terpuji, yaitu :
“ KORUPSI “.
    Tercatat dalam surat kabar, banyak kasus korupsi terungkap dan menyeret para pejabat publik ke depan sidang pengadilan dan menerima putusan hakim. Kasus korupsi yang disajikan beragam dari mafia pajak, korupsi oleh anggota Dewan  terhormat yang notabene adalah wakil rakyat dengan jumlah korupsi kecil sampai korupsi besar yang bernilai triliunan rupiah menghantam rasa keadilan itu sendiri. Belum lagi oleh pejabat negara yang nilainya tidak kecil. Ibarat kanker, sel-sel korupsi itu telah menyebar ke seluruh system dan di semua lini. Sungguh menggidikkan hati, sudah separah itukah rusaknya moral para pejabat kita ?
    Dalam Wikipedia, dijelaskan pengertian korupsi (berasal dari bahasa Latin Corruptio, dari kata kerja Corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaaan public yang dipercayakan kepada mereka.
    Dalam arti yang luas, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi yang arti harfiahnya pemerintahan oleh para pencuri. Dimana pura-pura bertindak jujurpun tidak ada sama sekali.
    Dengan bukti-bukti dan putusan yang telah dijatuhkan kepada pejabat public yang tersangkut kasus korupsi di Indonesia, gambaran menuju pemerintahan kleptokrasi hampir menjadi kenyataan. Miris rasanya melihat kenyataan ini. Dimanakah hati nurani mereka? Tidak takutkah mereka kepada azab Allah karena telah melanggar sumpah jabatan yang telah diucapkannya ? Akankah Garuda dapat terus terbang tanpa terseok-seok atau bahkan mungkin jatuh karena korupsi yang mencabik-cabik dari ujung kaki sampai kepalanya ?
    Semua pertanyaan yang pesimis tersebut dapat terjawab dengan setitik harapan. Meskipun kecil seperti setitik air di tengah samudera yang luas, atau dengan bahasa Koran yang popular dimasa kasus Antasari Azhar mencuat ke permukaan, “Cicak Melawan Buaya”. Tetap saja upaya kecil memberikan pencerahan yang menyejukkan. Kita bisa berharap pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan memberikan support terhadap kinerja dan applaus terhadap keberhasilan yang telah ditunjukkan. Banyak kasus korusi terungkap dengan kerja keras lembaga ini. Meskipun ada yang berusaha menggoyang eksistensi KPK dengan berbagai scenario busuk yang menyudutkan, sampai memidanakan pejabat KPK. Rakyatlah yang akan menilai salah atau tidaknya, karena rakyat tidak bodoh dan Tuhan Maha Melihat.

    Untuk memberantas korupsi, KPK menilai program anti korupsi harus masuk dalam kurikulum dan menjadi bagian dari mata pelajaran di sekolah bahkan sebagai mata kuliah wajib di Perguruan Tinggi. “Pendidikan anti korupsi harus diberikan sejak dini dengan memasukkan mata pelajaran pendidikan anti korupsi di sekolah dan di Perguruan Tinggi.” Kata pimpinan KPK, Bambang Widjajanto. Seusai menjadi pembicara dalam seminar nasional di Universitas Brawijaya Malang. Sebagai langkah awal adalah menyusun modul pendidikan anti korupsi bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional (Kemendikbud). Pendidikan anti korupsi ini bisa masuk dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) dan di Perguruan Tinggi bisa menjadi mata kuliah tersendiri. (Republika, 22 Juni 2012).
    Sebagai praktisi dalam penegakan anti korupsi di Indonesia, pendapat bapak Bambang Widjojanto ada benarnya. Tetapi pertanyaannya, apakah dengan memasukkan materi anti korupsi itu sendiri dapat memusnahkan tindakan korupsi yang menjamur di Indonesia ini ? Jawabannya belum tentu. Karena korupsi itu adalah mental atau kejiwaan. Pelajaran yang ideal  itu akan dihapal di luar kepala tanpa roh yang mengisinya,  Akibatnya apa ?  Akibatnya adalah individu-individu yang hapal luar kepala terhadap ide yang ideal tadi tetapi perilakunya tetap saja korupsi, karena mentalnya sudah dihinggapi penyakit kronis korupsi. Jalan satu-satunya untuk mengatasi korupsi ini adalah memberikan punishment yang seberat-beratnya. Cina memberlakukan kebijaksanaan “potong 1 generasi”, untuk mengatasi korupsi ini. Cara yang ditempuh dengan memutihkan semua urusan dan pejabat publik dari kasus korupsi, tetapi begitu UU anti korupsi diberlakukan, Cina banyak menghukum mati pejabat yang terbukti korupsi. Sekarang dapat dilihat hasilnya, Cina dapat mengejar ketertinggalannya dan menjadi salah satu negara maju di Asia, sejajar dengan Jepang. Produksi Cina banyak dijumpai di Indonesia, beragam produknya, beragam mutunya dan beragam harganya. Banjir produk Cina ini juga mengancam eksistensi produk dalam negeri, yang berjalan di tempat ibarat hidup segan mati tak hendak.
    Terlepas dari masalah ekonomi yang ditimbulkannya terhadap ekonomi kita. Ada baiknya kita meniru Cina dalam ketegasannya dalam memberantas kasus korupsi tanpa harus menghukum mati. Disesuaikan dengan hukum yang berlaku di Indonesia dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Jangan Cuma setengah-tengah, karena hasilnya akan percuma. Sebagai ilustrasi, seorang koruptor yang terbukti korupsi triliunan rupiah, dihukum 4 tahun. Selepas 4 tahun bebas untuk menikmati hasil korupsinya. Yang adil adalah hukuman badan dalam penjara sepanjang hayatnya, semua harta hasil korupsi disita untuk negara. Mudah-mudahan pejabat yang berwenang yang masih mempunyai hati nurani dan rasa keadilan, dapat menghasilkan UU semacam ini,
    Wacana pendidikan anti korupsi yang diajarkan di bangku Perguruan Tinggi melalui Mata Kuliah Khusus anti korupsi dapat diterima. Mahasiswa adalah agent of change yang harusnya peka terhadap kondisi masyarakatnya dan mampu menjadi motor penggerak dalam pemberantasan korupsi yang sedang digalakkan. Kemampuan pikir mereka juga sudah lebih tajam dalam menganalisis sesuatu permasalahan.
    Wacana pendidikan anti korupsi yang diajarkan di bangku sekolah dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan SMA/K, menurut penulis perlu dikaji ulang. Karena tidak akan efektif, apalagi dibebankan kepada mata pelajaran PKN. Masalah korupsi bukan hanya menjadi tanggung jawab guru PKN saja. Semua guru mata pelajaran bertanggung jawab terhadap masalah bangsa yang krusial ini. Dalam kurikulum yang berlaku sekarang, terdapat pendidikan budaya dan karakter bangsa yang terintegrasi dalam kurikulum semua mata pelajaran. Ada nilai-nilai yang perlu ditumbuh kembangkan pembinaannya, yaitu : 1)Religius, 2)Jujur, 3)Toleransi, 4)Disiplin, 5)Kerja keras, 6)Kreatif, 7)Mandiri, 8)Demokratis, 9)Rasa Ingin Tahu, 10)Semangat Kebangsaan, 11)Cinta tanah air, 12)Menghargai prestasi, 13)Bersahabat, 14)Komunikatif, 14)Cinta damai, 15)Gemar membaca, 16)Peduli lingkungan, 17)Peduli social dan, 18)Tanggung Jawab.
    Semua mata pelajaran bertanggung jawab terhadap nilai-nilai luhur tersebut. Dengan pendekatan yang optimal dan manusiawi, penulis optimis dapat mencetak kader-kader penerus bangsa yang bebas dari korupsi dengan mengedepankan watak luhur dari nilai yang telah disemai. Yang terpenting dari semua ini adalah contoh baik yang  nyata dari pejabat publik. Dengan contoh baik, dan penegakan hukum yang tidak memihak akan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Hukum yang ditegakkan “Rule of Law”, akan menjamin stabilitas pemerintah kita. Setiap warga negara merasa aman karena negara menjaminnya, setiap manusia berhak untuk menjadi arsitek sukses hidupnya, tanpa embel-embel dekat dengan siapa dan memberi apa. Membuat kita berwibawa di mata dunia. Garuda akan terbang dengan gagah membawa rasa keadilan manusia Indonesia.
    Untuk mendapatkan semua itu  tidak bisa dicapai dengan cara instan. Almarhum Prof. Dr. Nurcholish Majid pernah mengatakan, “ Menanam padi bisa dilihat hasilnya dalam waktu 3 bulan, tetapi menanam nilai baru bisa dilihat hasilnya dalam 1 generasi”. Mudah-mudahan apa yang kita tanam dan semai hari ini akan mendapatkan hasil yang baik dalam 1 generasi kedepan.
    Dengan keberhasilan ini, orang akan memandang bahwa korupsi adalah sebuah bahaya laten yang perlu diwaspadai. Atau olok-olok anak muda yang sedang trend, “Hari gene masih korupsi”? Capek dekh ….


                                                                                                            Medio, 23 Juni 2012

TEMA TULISAN         :  PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

PENULIS                        :  RINI EKO SUMARWANTI, SP.d
NAMA SEKOLAH        :  SMA NEGERI 8 BATANGHARI
ALAMAT SEKOLAH    :  JL. JAMBI – MA. BULIAN KM. 36
NO HP                           :  082180030824


   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar